Suara.com - Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menggelar pertemuan dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu. Salah satu yang menjadi pembahasan dan disepakati, yakni meninggalkan politik identitas.
Menurut Airlangga, politik identitas sudah saatnya harus ditinggalkan. Sehingga yang harus dikedepankan adalah politik kebangsaan.
"Dibahas tentang politik kebangsaan di mana ke depan kita akan mendahulukan politik kebangsaan dan juga diharapkan politik identitas itu akan ditinggalkan. Sehingga kita akan membangun kebhinekaan dan juga NKRI dan politik yang lebih kondusif, agar kita bisa sama-sama mensejahterakan masyarakat," kata Airlangga di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Kamis (29/4/2021).
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Syaikhu berharap yang menjadi pembahasan dan sudah disepakati tersebut dapat diimplementasikan untuk memberikan penguatan terhadap kesejahteraan bangsa.
Dengan meninggalkan politik identitas dan mengedepankan politik kebangsaan, Syaikhu sekaligus berharap dapat demokrasi Indonesia yang kadung cacat dapat menjadi lebih baik dan lebih dewasa.
"Sehingga ini akan meningkat daripada kondisi yang hari ini di mana dikatakan oleh The Economist Intelligence Unit sebagai demokrasi yang cacat, mudah-mudahan ke depannya akan terus ditingkatkan dan tentu itu perlu ada peran dan kebersamaan dari seluruh partai partai negeri kita tercinta," ujarnya.
Indeks Demokrasi Indonesia Peringkat 64
Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit atau EIU dengan skor 6.3.
Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48.
Baca Juga: Golkar Jatim Gadang Airlangga Hartanto Capres 2024, Wapresnya Khofifah
Ini merupakan angka terrendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Sehingga, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Menanggapi ini, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo mengatakan bahwa laporan ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pelaksanaan demokrasi.
Karyono berpendapat ke depan Indonesia masih akan menemui sejumlah tantangan, tetapi ia optimis indeks demokrasi Indonesia akan membaik jika kebijakan yang diambil pemerintah mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi.
"Pelaksanaan pemilu misalnya perlu diperbaiki. Sejumlah hambatan dalam pelaksana pemilu seperti money politic itu juga harus dicegah. Terkait dengan intimidasi dalam pelaksanaan pemilu juga harus dicegah...Kongkalikong antara penyelenggara pemilu dengan kontestan itu juga harus dihindari," ujar Karyono kepada DW Indonesia, Kamis (04/02) siang.
Lebih lanjut Karyono mengatakan bahwa fenomena politik identitas menjadi salah satu indikator yang berperan penting dalam menurunnya indeks demokrasi Indonesia.
"Sejak tahun 2017 Pilkada DKI, kemudian terus berlanjut ke pilkada serentak sampai ke pemilu 2019. Bahkan Pilkada 2020 itu juga masih ada politik identitas yang digunakan sebagai instrumen politik dalam kontestasi elektoral," papar Karyono.
Bukan tanpa sebab Karyono memaparkan demikian. Dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa tren indeks demokrasi Indonesia cenderung terus mengalami penurunan signifikan sejak tahun 2017.
Di Bawah Malaysia
Di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia sendiri ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Di Indonesia, EIU memberikan skor 7.92 unutk proses pemilu dan pluralisme. Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7.50, partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59.
Indeks Demokrasi adalah sebuah indeks yang disusun oleh Economist Intelligence Unit (EIU) sejak tahun 2006, dengan tujuan untuk mengukur keadaan demokrasi di 167 negara di dunia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Usai Dicopot Prabowo, Benarkah Sri Mulyani Adalah Menteri Keuangan Terlama?
-
Inikah Ucapan yang Bikin Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati Mundur dari Senayan?
-
Suciwati: Penangkapan Delpedro Bagian dari Pengalihan Isu dan Bukti Rezim Takut Kritik
-
Viral Pagar Beton di Cilincing Halangi Nelayan, Pemprov DKI: Itu Izin Pemerintah Pusat
-
Temuan Baru: Brimob Dalam Rantis Sengaja Lindas Affan Kurniawan
-
PAN Tolak PAM Jaya Jadi Perseroda: Khawatir IPO dan Komersialisasi Air Bersih
-
CEK FAKTA: Isu Pemerkosaan Mahasiswi Beralmamater Biru di Kwitang
-
Blusukan Gibran Picu Instruksi Tito, Jhon: Kenapa Malah Warga yang Diminta Jaga Keamanan?
-
DPR Sambut Baik Kementerian Haji dan Umrah, Sebut Lompatan Besar Reformasi Haji
-
CEK FAKTA: Viral Klaim Proyek Mall di Leuwiliang, Benarkah?