News / Nasional
Minggu, 14 Desember 2025 | 12:10 WIB
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya (tengah) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/12/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, ditetapkan tersangka KPK pada 11 Desember 2025 terkait korupsi.
  • Korupsi diduga terjadi untuk melunasi utang kampanye Pilkada 2024 senilai Rp5,25 miliar.
  • KPK melihat kasus ini sebagai kegagalan rekrutmen partai politik yang didasarkan finansial.

Suara.com - Tertangkapnya Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, dalam kasus dugaan korupsi bukan hanya menambah daftar panjang kepala daerah terjerat rasuah. Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus ini adalah etalase yang memamerkan borok sesungguhnya dari sistem rekrutmen partai politik di Indonesia yang sudah kronis.

Bagaimana tidak, uang hasil korupsi diduga kuat mengalir untuk menutupi utang kampanye saat Pilkada 2024. Ini menjadi bukti nyata betapa mahalnya ongkos menjadi pejabat di negeri ini, sebuah ongkos yang pada akhirnya dibayar dengan uang rakyat melalui praktik-praktik culas.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, tanpa tedeng aling-aling menyebut kasus ini sebagai cermin dari kegagalan parpol dalam melahirkan pemimpin yang berintegritas.

Menurutnya, proses seleksi calon pemimpin lebih mirip ajang pamer kekuatan finansial ketimbang adu gagasan dan rekam jejak.

“Permasalahan mendasar adalah lemahnya integrasi rekrutmen dengan kaderisasi yang memicu adanya mahar politik, tingginya kader yang berpindah-pindah antarparpol, serta kandidasi hanya berdasarkan kekuatan finansial dan popularitas,” ujar Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, Minggu (14/12/2025).

Dalam konstruksi kasusnya, KPK menduga Ardito Wijaya menerima total Rp5,75 miliar dari berbagai proyek. Dari jumlah tersebut, Rp5,25 miliar langsung digunakannya untuk melunasi pinjaman bank yang ia pakai sebagai modal selama kampanye Pilkada 2024. Lingkaran setan "modal-jabatan-korupsi" ini, kata KPK, adalah konsekuensi logis dari mahalnya biaya politik.

“Hal ini menunjukkan masih tingginya biaya politik di Indonesia yang mengakibatkan para kepala daerah terpilih kemudian mempunyai beban besar untuk mengembalikan modal politik tersebut, dan sayangnya dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, yaitu korupsi,” kata Budi sebagaimana dilansir Antara.

Kasus Ardito Wijaya seolah menjadi validasi langsung atas kajian tata kelola partai politik yang sedang digarap oleh lembaga antirasuah.

Budi menjelaskan, kasus ini mengonfirmasi hipotesis KPK mengenai tingginya kebutuhan dana parpol untuk segala lini, mulai dari pemenangan pemilu, biaya operasional, hingga hajatan internal seperti kongres atau musyawarah.

Baca Juga: Dari OTT ke Jejak Dana Gelap Pilkada: Seberapa Mahal Biaya Kampanye Calon Kepala Daerah?

Selain itu, sorotan tajam juga diarahkan pada laporan keuangan parpol yang sering kali jauh dari kata transparan dan akuntabel. Kondisi ini menciptakan celah besar bagi masuknya aliran dana-dana tidak sah untuk membiayai mesin politik.

“KPK mendorong pentingnya standardisasi sistem pelaporan keuangan parpol agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,” ujarnya.

Meski demikian, Budi menyatakan bahwa kajian mendalam ini masih terus bergulir. Nantinya, hasil kajian komprehensif tersebut akan diserahkan kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan DPR, sebagai rekomendasi konkret untuk upaya pencegahan korupsi dari hulunya.

Sebelumnya, pada 11 Desember 2025, KPK secara resmi menetapkan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya sebagai salah satu dari lima tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa serta penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Lampung Tengah untuk tahun anggaran 2025.

Load More