Suara.com - Sebuah riset terkait profesi jurnalis mengungkap fakta baru. Ternyata, mayoritas mahasiswa dan mahasiswi jurnalistik justru tidak memprioritaskan profesi sebagai jurnalis setelah lulus kuliah.
Sebuah penelitian yang dilakukan Remotivi bekerja sama dengan Departemen
Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa 65% mahasiswa dan 63% mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik sebagai pilihan utama pekerjaan setelah lulus kuliah.
Riset bertajuk “Mengapa Banyak Mahasiswi Jurnalistik dan Sedikit Jurnalis Perempuan?
(Studi Mengenai Persepsi dan Ketertarikan Mahasiswa dan Mahasiswi Jurnalistik untuk
Bekerja di Industri Pers)” menemukan bahwa meski kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan jurnalisme sebagai karier, mereka menilai pekerjaan jurnalis memiliki prestise (85,08%), mempunyai dampak sosial (85,44%), dan merupakan profesi dengan idealisme yang tinggi (72,24%).
Peneliti Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan, alasan mahasiswa dan mahasiswi tidak memprioritaskan karir jurnalistik karena kompensasi yang diterima jurnalis tidak sebanding dengan beban dan risiko pekerjaan.
Menurut Heychael, data ini menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah rendahnya penghargaan dan budaya kerja yang eksploitatif dalam industri media. Selaras dengan temuan lain penelitian ini, perempuan cenderung melihat profesi jurnalis sebagai profesi yang penuh risiko keamanan dan belum ramah terhadap perempuan.
“Pengalaman belajar dalam kelas maupun magang mengajarkan perempuan nilai-nilai maskulin dari profesi jurnalis (penuh risiko, memiliki beban kerja berat, dan sebagainya),” ujar peneliti Universitas Diponegoro, Nurul Hasfi dalam rilis yang diterima Suara.com, Minggu (11/7/2021) pagi.
Dosen Komunikasi Universitas Indonesia, Eriyanto menjelaskan, 72,45% responden
perempuan mengaku sering ditugaskan meliput isu fesyen, hiburan, wisata, kuliner, dan keluarga selama mengikuti kegiatan magang. Ketika ditanyakan mengenai seberapa sering ditugaskan untuk meliput isu politik, hukum, dan keamanan, hanya 28,57 persen dari total responden perempuan yang menjawab sering mendapatkan tugas tersebut.
“Ketika dieksplorasi lebih lanjut dalam sesi FGD, baik partisipan laki-laki dan perempuan
mengakui adanya hambatan dan stereotip-stereotip gender yang dialami calon jurnalis
perempuan baik di ruang kelas maupun tempat magang,” kata Eriyanto.
“Dari banyaknya stereotip yang disematkan kepada jurnalis perempuan, anggapan bahwa
perempuan dengan penampilan menarik lebih baik bekerja sebagai presenter televisi dibanding menjadi jurnalis lapangan paling sering terdengar responden perempuan (82,55%). Selain itu, 61,74% responden perempuan juga kerap menemukan adanya anggapan bahwa perempuan akan sulit menjadi ibu sekaligus jurnalis,” ucap Winona Amabel, Peneliti Remotivi.
Baca Juga: Banyak Jurnalis Gugur Akibat Pandemi, Satgas Covid-19 Ucapkan Belasungkawa
Hal ini pada gilirannya berimbas pada kepercayaan diri mahasiswi untuk sukses dalam jurnalistik. Hanya 42% dari total responden perempuan yang percaya diri untuk menduduki posisi puncak di ruang redaksi sebagai pemimpin redaksi.
Sementara itu, 56,25% dari total responden laki-laki memiliki kepercayaan diri dapat menjadi pemimpin redaksi.
“Dalam sesi FGD, ditemukan bahwa penyebab mahasiswi cenderung kurang percaya diri dalam memproyeksikan jurnalistik adalah karena adanya pertimbangan peran domestik di masa depan.” kata Lintang Ratri, Pengajar Jurnalistik di Universitas Diponegoro.
Wisnu Prasetya, Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang berpartisipasi dalam penelitian ini mengatakan bahwa temuan ini mesti menjadi alarm bagi para pemangku kepentingan, yang dalam hal ini adalah lembaga pendidikan tinggi dan industri media.
“Pasalnya, mendorong semakin banyak perempuan berkarier di industri pers merupakan prasyarat penting untuk penghapusan penggambaran perempuan di media yang kerap diiringi seksisme dan bias gender,” ujarnya.
Dosen Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sandi Jaya Saputra, yang juga bagian dari tim
penelitian, mengungkapkan bahwa tekanan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan perlu jadi pertimbangan bagi institusi kampus dan tenaga pengajar. Suasana dan proses belajar yang mengafirmasi atau meningkatkan kepercayaan diri perempuan perlu dibangun.
Berita Terkait
-
Polda Jatim Gelar Perkara Tertutup Kasus Kekerasan Jurnalis Tempo Nurhadi
-
Komnas HAM Segera Panggil Pihak Terkait Penganiayaan Jurnalis Tempo
-
PFI Bogor Dapat Penghargaan APFI 2021, Hendi: Ini Milik Semua Anggota
-
Menantu Angin Diduga Terlibat Penganiayaan Nurhadi Jurnalis Tempo
-
Menunggu Janji Kapolda Jatim Selesaikan Kasus Nurhadi Tempo
Terpopuler
- 7 Sunscreen Terbaik untuk Flek Hitam Usia 50 Tahun, Atasi Garis Penuaan
- 3 Link DANA Kaget Khusus Hari Ini, Langsung Cair Bernilai Rp135 Ribu
- 14 Kode Redeem FC Mobile Hari Ini 7 Oktober 2025, Gaet Rivaldo 112 Gratis
- Sosok Profesor Kampus Singapura yang Sebut Pendidikan Gibran Cuma Setara Kelas 1 SMA
- 5 Fakta Heboh Kasus Video Panas Hilda Pricillya dan Pratu Risal yang Guncang Media Sosial
Pilihan
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
-
Istri Thom Haye Keram Perut, Jadi Korban Perlakuan Kasar Aparat Keamanan Arab Saudi di Stadion
-
3 Rekomendasi HP 1 Jutaan Kemera Terbaik, Mudah Tapi Bisa Diandalkan
-
Kontroversi Penalti Kedua Timnas Indonesia, Analis Media Arab Saudi Soroti Wasit
-
6 Rekomendasi HP Murah Baterai Jumbo 6.000 mAh, Pilihan Terbaik Oktober 2025
Terkini
-
Swasembada Pangan! Mentan: InsyaAllah Tak Impor Beras Lagi, Mudah-mudahan Tak Ada Iklim Ekstrem
-
Indonesia Jadi Prioritas! Makau Gelar Promosi Besar-besaran di Jakarta
-
Cak Imin Bentuk Satgas Audit dan Rehabilitasi Gedung Pesantren Rawan Ambruk
-
Semarang Siap Jadi Percontohan, TPA Jatibarang Bakal Ubah Sampah Jadi Energi Listrik
-
Ragunan Buka hingga Malam Hari, Pramono Anung: Silakan Pacaran Baik-Baik
-
Skandal Robot Trading Fahrenheit: Usai Kajari Jakbar Dicopot, Kejagung Buka Peluang Pemecatan
-
Pengacara Nadiem: Tak Ada Pertanyaan Kerugian Negara di BAP, Penetapan Tersangka Cacat Hukum
-
Skandal Haji Makin Melebar: KPK Kini Juga Bidik Korupsi Konsumsi dan Akomodasi
-
Gencarkan Gemarikan di Lembang, Anggota DPR Ini Ajak Emak-emak Jadi Duta Gizi Atasi Stunting
-
Pengakuan Korban Penyerangan Geng Motor di Tanah Abang: Kami Hanya Jualan Kopi, Bukan Cari Musuh!