Suara.com - Peraih Nobel Perdamaian Maria Ressa mengatakan medianya, Rappler, tetap beroperasi "seperti biasa" meski telah ada perintah penutupan dari Pemerintah Filipina.
Menurut dia, biarlah pengadilan yang akan memutuskan terkait perintah penutupan yang datang dari pemerintah tersebut.
Rapplermerupakan situs berita yang kritis terhadap Pemerintahan Duterte termasuk tindakan kerasnya terhadap narkoba.
Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina pada hari Selasa menegaskan pencabutan lisensi Rappler atas pelanggaran larangan kepemilikan asing dan kontrol media.
Iniadalah salah satu dari beberapa kasus yang dituduhkan terhadap Maria Ressa dan Rappler yang dilihat sebagai bagian dari serangan terhadap kebebasan pers di bawah Presiden Rodrigo Duterte.
Duterte akan meninggalkan kantor kepresidenan pada hari Kamis (1/07) hari ini dan akan digantikan oleh Ferdinand Marcos Jr., putra mendiang diktator Marcos.
Ressa menyampaikanperintah penutupan terhadap Rappler itu saat berbicara di East-West Center di Honolulu pada Selasa (28/06) lalu.
"Sebagian alasan mengapa saya kurang tidur tadi malam adalah karena kami mendapat perintah penutupan,"kata Ressa kepada peserta konferensi.
Dia mengatakan bahwa Rappler akan terus membela hak-haknya.
Baca Juga: Maria Ressa, AJI dan Koalisi Tiga Negara: Setop Serangan Terhadap Pers dan Demokrasi
"
"Anda telah mendengar saya berulang kali, selama enam tahun terakhir, mengatakan bahwa kami telah dilecehkan. Ini adalah intimidasi. Ini adalah taktik politik. Kami menolak untuk menyerah pada mereka,"kata Ressa.
"
Pengacara Rappler, Francis Lim, mengatakan situs web tersebut memiliki jalur hukumuntuk mempertanyakan keputusan administratif SEC di pengadilan.
"Kami yakin pada akhirnya kami akan menang,"kata Lim, Rabu (29/06) di Manila.
"Ini adalah pembalasan pemerintah atas laporan Rappler tentang pelanggaran hak dalam 'perang narkoba', penggunaan disinformasi oleh Duterte dan Marcos di media sosial, dan berbagai macam tindakan pelanggaran hak selama enam tahun terakhir,"tutur Phil Robertson, wakil direktur Asia Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Perkuat Ekosistem Bisnis, BNI dan Anak Usaha Dorong Daya Saing UMKM di wondr JRF Expo
-
Dosen Merapat! Kemenag-LPDP Guyur Dana Riset Rp 2 Miliar, Ini Caranya
-
Lewat Bank Sampah, Warga Kini Terbiasa Daur Ulang Sampah di Sungai Cisadane
-
Tragis! Lexus Ringsek Tertimpa Pohon Tumbang di Pondok Indah, Pengemudi Tewas
-
Atap Arena Padel di Meruya Roboh Saat Final Kompetisi, Yura Yunita Pulang Lebih Awal
-
Hadiri Konferensi Damai di Vatikan, Menag Soroti Warisan Kemanusiaan Paus Fransiskus
-
Nyaris Jadi Korban! Nenek 66 Tahun Ceritakan Kengerian Saat Atap Arena Padel Ambruk di Depan Mata
-
PLN Hadirkan Terang di Klaten, Wujudkan Harapan Baru Warga di HLN ke-80
-
Geger KTT ASEAN: Prabowo Dipanggil Jokowi, TV Pemerintah Malaysia Langsung Minta Maaf
-
88 Tas Mewah Sandra Dewi Cuma Akal-akalan Harvey Moeis, Bukan Endorsement?