Suara.com - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menuai badai kritik dari sana-sini. Legislator, pakar hukum, buruh hingga kalangan pengusaha angkat suara.
Oleh Jokowi, Perppu Cipta Kerja itu diterbitkan sebagai tindaklanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Undang-Undang Cipta Kerja memang tak pernah lepas dari kontroversi. Aturan ini sudah banyak menuai penolakan bahkan sejak awal perumusannya.
Jokowi beralasan pertimbangan penetapan dan penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah kebutuhan mendesak, di mana pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja itu memang terkesan tiba-tiba, hanya dua hari jelang pergantian tahun, tepatnya pada Jumat (30/12/2022). Tak pelak, 'jurus' Jokowi itu langsung menuai badai kritik sana-sini.
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia atau ASPEK Indonesia menuding Perppu Cipta Kerja hanya sebagai siasat dari pemerintah untuk tetap memberlakukan Omnibus Law yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini karena pemerintah dan DPR gagal memenuhi putusan MK untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan UU Cipta Kerja melalui Perppu," kata Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat dalam siaran pers, Senin (2/1/2023).
Mirah juga menuding isi Perppu Cipta Kerja sekadar "copy paste" dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
"ASPEK Indonesia telah mempelajari isi salinan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang beredar di masyarakat sejak semalam. Ternyata isinya hanya copy paste dari isi UU Cipta Kerja yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja," ujar Mirah.
Baca Juga: Aturan Pesangon di Perppu Cipta Kerja: Besaran, Jenjang Kerja hingga Uang Penghargaan PHK
Pasal-pasal Merugikan Pekerja
Mirah Sumirat mengatakan, jika Perppu Cipta Kerja tetap dilaksanakan, khususnya yang berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan bisa semakin membuat pekerja semakin miskin.
Kelompok buruh pun menyoroti sejumlah aturan di Perppu Ciptaker yang dinilai merugikan. Seperti aturan pesangon, buruh memandang dalam Perppu Cipta Kerja cukup merugikan. Pasalnya, kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh korban PHK berkurang dibandingkan aturan lama.
Sebagai pembanding, dalam UU Ketenagakerjaan besaran uang pesangon yang diterima buruh korban PHK paling banyak dibatasi 10 bulan gaji. Selain pesangon, korban PHK itu juga mendapatkan uang penggantian hak seperti cuti tahunan yang belum diambil atau belum gugur, biaya ongkos pulang kerja, penggantian perumahan serta pengobatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon.
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas; upah pokok, tunjangan yang bersifat tetap, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Sementara kalau dalam perppu, pesangon dibatasi maksimal hanya 9 bulan gaji.
Kemudian sistem upah. Buruh memandang sistem upah yang berlaku dalam Perppu Cipta Kerja merugikan. Dengan sistem upah itu, buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.
Berdasarkan aturan tersebut, formula penetapan upah minimum bisa diubah dalam keadaan tertentu.
"Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat 2," bunyi pasal 88F Perppu Cipta Kerja.
Selanjutnya soal aturan PHK. Hal ini juga jadi kritikan kelompok buruh. PHK dalam Perppu Cipta Kerja dinilai berpotensi merugikan buruh.
Pasalnya, aturan itu memberikan kemudahan kepada perusahaan melakukan PHK. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui penetapan pengadilan.
Soal sistem pekerjaan alih daya. Perppu Cipta Kerja disebut tidak mengatur batasan jenis pekerjaan alih daya atau outsourcing, sama seperti Omnibus Law sebelumnya yang diputus MK inkonstitusional bersyarat.
Ketentuan soal pekerjaan yang dapat dialihdayakan diatur dalam Pasal 64 Perppu tersebut.
"Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis," bunyi Pasal 64 ayat (1) Perppu Cipta Kerja.
Aturan ini berbeda dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berlaku sebelum Perppu maupun UU Omnibus Law. Batasan pekerjaan outsourcing diikat produk hukum setingkat uu, bukan pp.
Kemudian soal tenaga kerja asing. Buruh memandang Perppu Cipta Kerja justru makin mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Bahkan ke semua jenis pekerjaan yang sebenarnya bisa digarap pekerja lokal.
Salah satu aturan di Perppu Ciptaker itu adalah menghapus kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja asing yang mau masuk RI.
Dari informasi yang berkembang, sejumlah kelompok buruh bakal melayangkan gugatan terkait Perppu Cipta Kerja itu. Bahkan ada rencana melakukan aksi demonstrasi menolak Perppu ciptaan Jokowi itu.
Apa Kata Pengusaha?
Tak hanya kalangan pekerja atau buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga turut menyoroti Perppu Cipta Kerja. Salah satunya adalah dua isu di klaster ketenagakerjaan yang berubah di Perppu tersebut.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyebut, dua isu yang berubah dari aturan di UU Cipta Kerja yaitu mengenai pengupahan dan alih daya.
“Di dalam pengupahan itu ada perubahan yang tadinya perhitungan untuk upah minimum itu didasarkan kepada inflasi, atau pertumbuhan ekonomi, diambil salah satu yang tertinggi. Tapi di dalam Perppu ini, diambil tiga parameter yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu,” kata dia, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1/2022).
Menurut Hariyadi, penentuan upah minimum berdasarkan tiga parameter itu dikhawatirkan tidak mencerminkan gambaran upah minimum sebagai jaring pengaman sosial sebagaimana seharusnya.
“Kalau ini tidak mencerminkan jaring pengaman sosial dan ini cenderung nantinya kenaikannya seperti dulu di PP 78/2015, yang kita khawatirkan itu adalah akan terjadi makin jauhnya suplai dan demand,” ungkapnya.
Menurut dia, kenaikan upah minimum dengan formulasi baru di Perppu akan membuat celah besar antara suplai dan permintaan tenaga kerja.
“Suplai tenaga kerjanya lajunya tinggi karena rata-rata sekarang sekitar 3 juta per tahun angkatan kerja baru, sedangkan penyerapan atau penyediaan tenaga kerjanya itu semakin menyusut,” katanya.
Menurut Hariyadi, jika tren tersebut tidak diubah, angkatan kerja baru akan kesulitan mendapatkan lapangan kerja baru. Begitu pula mereka yang di sektor informal juga akan semakin sulit masuk ke sektor formal.
Di sisi lain, terkait isu alih daya, Apindo menyoroti soal pembatasan yang justru kontraproduktif dengan kondisi dan upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi.
“Ini menurut pandangan kami juga tidak tepat karena Indonesia membutuhkan lapangan kerja sangat besar. Nah kalau upaya-upaya dan koridor akses ini dipersempit semuanya, maka kembali lagi, kita tidak punya alternatif yang cukup banyak untuk penyediaan lapangan kerja itu,” katanya.
Berita Terkait
-
Blak-blakan Sepupu Puan Maharani Akui Lebih Suka Jokowi Ketimbang Megawati Jadi Presiden: Soalnya...
-
Megawati Tugaskan Sekjen PDIP Temui Jokowi di Tengah Isu Reshuffle, Demi Sampaikan Ini
-
Aturan Pesangon di Perppu Cipta Kerja: Besaran, Jenjang Kerja hingga Uang Penghargaan PHK
-
Benarkah Heru Budi Akhirnya Ngaku Disuruh Jokowi Obok-obok Kerja Anies Baswedan?
-
Terima Laporan dari DPR, Hasto PDIP Sebut Sikap NasDem Berubah Pasca Deklarasi Anies Jadi Bacapres
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Snapdragon Paling Murah untuk Kebutuhan Sehari-hari, Mulai dari Rp 1 Jutaan
-
7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
-
Nova Arianto Ungkap Biang Kerok Kekalahan Timnas Indonesia U-17 dari Zambia
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
Terkini
-
Peringatan Dini Cuaca Ekstrem Hari Ini, Daerah Anda Termasuk yang Waspada? Cek di Sini!
-
Kabar Gembira! Utang BPJS 23 Juta Orang Bakal Lunas, Cak Imin Umumkan Pemutihan Iuran di 2025
-
'Keramat', Nasib Sahroni hingga Uya Kuya Ditentukan di Sidang MKD Hari Ini, Bakal Dipecat?
-
MKD Gelar Sidang Putusan Anggota DPR Nonaktif Hari Ini, Uya Kuya Hingga Ahmad Sahroni Hadir
-
Identitas 2 Kerangka Gosong di Gedung ACC Diumumkan Besok, Polda Undang Keluarga Reno, Ada Apa?
-
Berdayakan UMKM dan Keuangan Inklusif Desa, BNI Raih Outstanding Contribution to Empowering MSMEs
-
Heboh Pria Cepak di Tanah Abang Tabrakan Diri ke Mobil, Aksinya Diolok-olok: Akting Kurang Natural
-
Dibiayai Rakyat Sampai Masuk Lubang Kubur, Menhan Minta Prajurit TNI Hormati dan Lindungi Rakyat
-
Prabowo 'Gebrak Meja', Utang Whoosh Rp1,2 T per Tahun Dibayar Pakai Duit Rampasan Koruptor
-
Terkuak! Alasan Bripda W Habisi Dosen di Jambi, Skenario Licik Gagal Total Gara-gara Wig