Suara.com - Organisasi lingkungan Satya Bumi menyesalkan langkah pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pasalnya, substansi Perppu tersebut tidak jauh berbeda dengan Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 hanya menyalin pasal-pasal yang termaktub dalam UU Cipta Kerja. Tentunya, hal itu sangat berbahaya untuk lingkungan hidup.
"Perppu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup," kata Andi Muttaqien dalam siaran persnya, Kamis (5/1/2022).
Andi melanjutkan, Perppu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat-yang sebelumnya diatur dalam UU Kehutanan.
Sebelum direvisi dalam Omnibus Law, lanjut Andi, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi, UU Cipta Kerja -yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu- menghapus ketentuan tersebut untuk kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Tak hanya itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 juga masih mempertahankan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan Amdal. Penyusunan Amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung.
"Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan Amdal," tambah dia.
Kemudian, pasal 'pemutihan' atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga masih dipertahankan. Andi menyebut, UU maupun Perppu Cipta Kerja tidak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku.
Andi menambahkan, UU Cipta Kerja memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam Perppu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023.
Tidak hanya itu, pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang masih muncul dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja. Aturan tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminilisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang.
Pasal tersebut, lanjut Andi, mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).
"Jadi berdasarkan catatan di atas, pandangan kami soal subtansi tidak berubah, bahwa UU Ciptaker---yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu-- ini memang mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," katanya.
Menurut Andi, boleh saja jika pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk memangkas atau menghapus aturan yang menghambat aktivitas ekonomi atau pun gerak birokrasi.
"Tapi deregulasi yang dilakukan saat ini sudah kebablasan. UU Cipta Kerja--yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perpu-- ini, lebih-lebih sampai menghilangkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia,' jelas Andi.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Istana Tanggapi Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' di Media Sosial: Presiden Aja Ikut Macet-macetan!
-
Emil Audero Jadi Kunci! Cremonese Bidik Jungkalkan Parma di Kandang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
Terkini
-
Indonesia di Ambang Amarah: Belajar dari Ledakan di Nepal, Rocky Gerung dan Bivitri Beri Peringatan!
-
Ganggu Masyarakat, Kakorlantas Bekukan Penggunaan Sirene "Tot-tot Wuk-wuk"
-
Angin Segar APBN 2026, Apkasi Lega TKD Bertambah Meski Belum Ideal
-
Digerebek Satpol PP Diduga Sarang Prostitusi, Indekos di Jakbar Bak Hotel: 3 Lantai Diisi 20 Kamar!
-
Usai Siswa Keracunan Massal, DPR Temukan Ribuan SPPG Fiktif: Program MBG Prabowo Memang Bermasalah?
-
RUU Perampasan Aset Mesti Dibahas Hati-hati, Pakar: Jangan untuk Menakut-nakuti Rakyat!
-
Ucapan Rampok Uang Negara Diusut BK, Nasib Wahyudin Moridu Ditentukan Senin Depan!
-
Survei: Mayoritas Ojol di Jabodetabek Pilih Potongan 20 Persen Asal Orderan Banyak!
-
Sambut Putusan MK, Kubu Mariyo: Kemenangan Ini Milik Seluruh Rakyat Papua!
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri