Suara.com - Kesuksesan serial Squid Game musim kedua kembali menarik perhatian dunia dengan kisah brutal Seong Gi-hun, alias Pemain 456, yang kembali terlibat dalam permainan mematikan demi hadiah uang yang menggiurkan. Namun, di balik fiksi distopia karya sutradara Hwang Dong-hyuk itu, tersimpan sebuah kisah nyata yang tak kalah mengerikan, yaitu tragedi di ‘Brothers’ Home’, sebuah pusat penahanan di Busan, Korea Selatan, pada tahun 1970-an hingga 1980-an.
Pada era kepemimpinan diktator militer Chun Doo-hwan, ‘Brothers’ Home’ didirikan sebagai salah satu dari 36 fasilitas yang bertujuan membersihkan jalan-jalan Korea Selatan dari pengemis dan gelandangan menjelang Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Namun, kenyataan di balik fasilitas ini jauh dari fungsi kesejahteraan. Anak-anak dan orang dewasa yang ditangkap di jalanan dipaksa bekerja sebagai budak di lokasi konstruksi, pabrik, hingga pertanian tanpa peluang untuk melarikan diri.
Salah satu korban, Han Jong-sun, yang saat itu berusia delapan tahun, menceritakan pengalaman traumatisnya kepada BBC pada 2020.
"Kami hanya menunggu ayah kami yang pergi sebentar. Tapi tiba-tiba kami dipaksa naik bus dan dipukuli saat menangis,” kenangnya.
Di dalam fasilitas itu, para tahanan diperlakukan seperti tahanan kamp konsentrasi, dengan kelaparan, kekerasan seksual, hingga kematian sebagai pemandangan sehari-hari.
Tak hanya Han, seorang remaja bernama Choi Seung-woo juga menjadi korban penahanan di ‘Brothers’ Home’. Saat berusia 13 tahun, ia dipaksa mengaku mencuri sepotong roti dan disiksa secara brutal. Setelah memberikan pengakuan palsu demi bisa pulang, Choi justru dijebloskan ke pusat penahanan itu selama lima tahun.
"Saya melihat orang-orang dipukuli hingga mati. Mereka tidak pernah kembali," ujar Choi dalam wawancaranya.
Choi menggambarkan suasana ‘Brothers’ Home’ seperti neraka. Setiap malam ia menyaksikan teman-temannya dianiaya dan dibunuh. Sebuah laporan pada 1987 mengungkapkan bahwa lebih dari 500 tahanan tewas di fasilitas tersebut antara tahun 1975 hingga 1986. Namun, angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.
Setelah investigasi mendalam pada 1987, fasilitas ini akhirnya ditutup, dan direktur ‘Brothers’ Home’, Park In-keun, ditangkap. Sayangnya, ia hanya dijatuhi hukuman ringan atas tuduhan penggelapan dan dibebaskan dari tuduhan penahanan ilegal. Hukuman yang tak setimpal ini membuat banyak korban merasa keadilan belum ditegakkan hingga hari ini.
Baca Juga: Yoon Suk Yeol Segera Ditahan, Pesan Tegas Kepala Badan Keamanan Presiden Korsel
Meski Hwang Dong-hyuk, kreator Squid Game, tidak pernah secara langsung menyebut ‘Brothers’ Home’ sebagai inspirasi utama, banyak penggemar melihat kesamaan mencolok antara fiksi dalam serial tersebut dan kenyataan tragis di Busan. Seperti di Squid Game, di mana peserta dipaksa memainkan permainan anak-anak dengan taruhan nyawa, para tahanan di ‘Brothers’ Home’ dipaksa menjalani permainan penyiksaan demi memuaskan para pemegang kekuasaan.
Dalam wawancaranya dengan Variety, Hwang menjelaskan bahwa ia terinspirasi dari perjuangan kelas pekerja dan krisis ekonomi yang membuat masyarakat rentan jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
"Saya ingin menggambarkan betapa kerasnya persaingan dalam hidup modern. Kisah ini adalah fabel tentang kapitalisme yang ekstrem,” ungkapnya.
Selain itu, Hwang juga menyebut bahwa ia menemukan inspirasi dari pemogokan pekerja Ssangyong Motor pada 2009, di mana ratusan buruh yang kehilangan pekerjaan terpaksa melakukan aksi selama 77 hari sebelum akhirnya dihentikan secara paksa oleh pemerintah.
"Saya ingin menunjukkan bahwa siapa pun bisa jatuh dari kelas menengah ke dasar tangga ekonomi dalam semalam," tambahnya.
Meski ‘Brothers’ Home’ telah lama ditutup, luka yang ditinggalkannya masih membekas bagi para korban dan keluarganya. Mereka terus menuntut keadilan atas penderitaan yang mereka alami selama bertahun-tahun. Tragedi ini sekaligus menjadi pengingat akan dampak buruk kesenjangan sosial dan perlakuan sewenang-wenang terhadap kaum marginal.
Berita Terkait
-
Yoon Suk Yeol Segera Ditahan, Pesan Tegas Kepala Badan Keamanan Presiden Korsel
-
Jeju Air Pangkas 1.900 Penerbangan untuk Rute Internasional dan Domestik, Indonesia Kena?
-
Transformasi Gi-hun di Squid Game Season 2: Dari Serampangan jadi Berani!
-
3 Tahun Menanti, Park Se Young Akhirnya Hamil Anak Pertama
-
Dimazulkan dan Dikepung, Presiden Korsel Kini Dihantam Skandal Plagiat Istrinya
Terpopuler
- 10 Sunscreen untuk Flek Hitam Terlaris di Shopee yang Bisa Kamu Coba
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- Lebih Murah dari Innova Zenix: 5 Mobil 7 Seater Kabin Lega Cocok untuk Liburan Keluarga Akhir Tahun
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- 7 Mobil 8 Seater Termurah untuk Keluarga, MPV hingga SUV Super Nyaman
Pilihan
-
4 HP Memori 256 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer yang Ingin Install Banyak Game
-
Disebut Menteri Berbahaya, Menkeu Purbaya Langsung Skakmat Hasan Nasbi
-
Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah
-
5 Fakta Kemenangan 2-1 Real Madrid Atas Barcelona: 16 Gol Kylian Mbappe
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
Terkini
-
Gempa Magnitudo 6,5 Leeward Island, BMKG: Tidak Ada Potensi Tsunami di Indonesia
-
Kewenangannya Dicabut, Karen Agustiawan Klaim Tak Tahu Soal Penyewaan Tangki BBM Anak Riza Chalid
-
Babak Baru Skandal Whoosh: Pakar Hukum Desak KPK 'Seret' Jokowi ke Meja Pemeriksaan
-
Karen Agustiawan Ungkap Fakta TBBM Merak: Kunci Ketahanan Energi Nasional atau Ladang Korupsi?
-
Blok M Bangkit Lagi! Gubernur DKI Janjikan Sistem Parkir Satu Pintu, Minta Warga Naik Transum
-
KCIC Siap Bekerja Sama dengan KPK soal Dugaan Mark Up Anggaran Proyek Kereta Cepat Whoosh
-
Mendagri Tito Karnavian Buka-bukaan, Ini Biang Kerok Ekonomi 2 Daerah Amblas!
-
Sidang Kasus Korupsi Pertamina, Karen Agustiawan Ungkap Tekanan 2 Pejabat Soal Tangki Merak
-
Ultimatum Gubernur Pramono: Bongkar Tiang Monorel Mangkrak atau Pemprov DKI Turun Tangan!
-
Drama Grup WA 'Mas Menteri': Najelaa Shihab dan Kubu Nadiem Kompak Bantah, tapi Temuan Jaksa Beda