Suara.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengusulkam penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif tingkat nasional dipisah dengan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan DPRD.
Usulan itu disampaikan Titi Anggraini menyusul rencana DPR dan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum atau RUU Pemilu.
Selain pemisahan penyelenggaraan, Titi juga menyarakankan agar pelaksanaan dari pemilu nasional ke pemilu serentak kepala daerah berjarak dua tahun.
"Yang kami usulkan adalah, model keserentakan Pemilu nasional memilih DPR, DPD dan presiden secara bersamaan pada satu hari yang sama, kemudian Pemilu serentak lokal memilih DPRD dan kepala daerah di hari yang sama, tapi jeda antara serentak nasional dan lokal itu dua tahun," kata Titi Anggraini dalam diskusi publik terkait RUU Pemilu di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).
Titi Anggraini menjelaskan alasan mengapa Perludem mengusulkan jeda dua tahun dari pelaksanaan pemilu tingkat nasional dan lokal.
"Kenapa kami mau ada jeda dua tahun? Supaya tidak ada borong kekuasaan ketika model pemilunya seperti saat ini. Kalau di tahun yang sama pemaksaan koalisi nasional terhadap koalisi nasional akhirnya partai kehilangan identitasnya," beber Titi Anggraini.
Selain karena alasan tersebut, Titi Anggraini berharap jeda dua tahun itu bisa menimbulkan korelasi antara pencalonan kepala daerah dengan penguatan kelembagaan partai di daerah.
"Serta untuk memudahkan rasionalitas pekerja penyelenggara Pemilu, menciptakan pemilih kritis, dan memberikan ruang evaluasi secara memadai," kata Titi Anggraini.
"Katanya kalau ingin membuat partai bekerja, sering-sering lah ada Pemilu. Konon katanya begitu," sambung Titi.
Baca Juga: Suap Hakim Demi Bebaskan Putranya, Ibunda Ronald Tannur Pede Ngaku Tak Bersalah
Usul Hapus Ambang Batas
Dalam kesempatan tersebut, Perludem juga menyampaikan usulan untuk penghapusan ambang batas pencalonan kepala daerah, menyusul ambang batas pencalonan presiden yang kini tidak ada.
"Kalau di nasional presiden dihapus kenapa di kepala daerah harus dipertahankan? Padahal eksekutif nasional adalah referensi untuk eksekutif daerah," kata Titi Anggraini.
Perludem turut mengusulkan ambang batas maksimal pencalonan atau koalisi pencalonan di angka 35 persen. Usulan itu dengan alasan untuk mencegah dominasi kekuatan politik tertentu.
"Mengapa begitu? Pertama sebenarnya partai itu butuh dukungan signifikan di parlemen. Presiden itu perlu dukungan signifikan di parlemen, bukan dukungan kursi super mayoritas, dan 35 persen adalah dipilih dengan pertimbangan critical mass 30 persen minimal untuk ikut mempengaruhi pengambilan keputusan," kata Titi Anggraini.
Tertutup atau Terbuka?
Sementara itu, mengenai perdebatan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup, Titi memiliki usulan alternatif.
"Daripada kita ribut terus soal tarik menarik, apakah tertutup terbuka, kenapa kota tidak ambil jalan tengah? Yaitu sistem Pemilu campuran," papar Titi Anggraini.
"Kelembagaan partai juga kuat, tapi pemilih juga dekat dengan wakilnya," sambung Titi.
Desak DPR
Sebelumnya peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mendesak DPR RI segera memulai pembahasan RUU Pemilu. Hal ini perlu dilakukan agar pelaksanaan pesta demokrasi berikutnya bisa berjalan lebih baik.
Fadli Ramadhanil mengatakan, tahapan Pemilu biasanya sudah mulai dua tahun sebelum hari pemungutan suara. Karena itu, pembahasan untuk gelaran 2029 seharusnya dilaksanakan tahun ini.
"Kalau kita tarik pengalaman pemilu 2024 ke pemilu 2019, tahapan pemilu itu sudah dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Kalau pemilunya misalnya akan dilaksanakan di trimester pertama 2029, maka di 2027 tahapan pemilu itu sudah mulai," ujar Fadil dalam diskusi di Jakarta Selatan, Senin (28/4/2025).
Untuk bisa memulai tahapan Pemilu secara profesional, jujur, dan adil, Fadil menyebut hal paling penting untuk dirampungkan adalah kerangka hukumnya.
"Kerangka hukum pemilu ini dalam konteks di kami tentu saja undang-undang pemilu dan undang-undang Pilkada," jelasnya.
Berkaca dari Pemilu 2019 misalnya, Fadil menuebut telah terjadi banyak peesoalan. Mulai dari masalah penyelenggara, sistem Pemilu dan pendekatan hukum yang mengakibatkan Pemilu tidak jujur.
"Bahkan persoalan itu kembali terulang di penyelenggaran pemilu 2024 bahkan cenderung lebih parah. Ada kasus manipulasi verifikasi parpol misalnya di pemilu 2024 yang tidak ada penyelesaian, tidak ada pertanyaan jawaban," ucapnya.
"Ada banyak sekali praktik kecurangan yang terjadi dalam proses kampanye Pilpres. Itu bagaimana persoalan itu tidak mampu disikapi secara baik oleh kerangka hukum pemilu" lanjutnya menambahkan.
Berdasarkan pengalaman dua Pemilu terakhir, DPRdan Pemerintah saat ini harusnya melakukan konsolidasi kerangka hukum Pemilu lebih awal. Sehingga, masih ada waktu untuk melibatkan sebanyak mungkin stakeholder yang berkaitan Pemilu.
"Mulai dari partai politiknya, tidak hanya partai politik yang ada di parlemen, tapi juga partai politik baru, partai politik yang ada di luar parlemen, kelompok civil society, media, kampus, dan banyak sekali kelompok yang mestinya didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan undang-undang pemilu," ucap Fadil.
Jika pembahasan bisa dilakukan lebih awal, Fadil meyakini kerangka hukum Pemilu yang disusun akan bisa menjadi jawaban atas berbagai persoalan Pemilu. Hal ini juga menjadi warisan penting dari pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto.
"Ini yang jadi titik tengah penting, proses pembahasan mesti segera dimulai, karena ini adalah pertaruhan legacy demokrasi Presiden Prabowo, karena kalau tidak disiapkan secara baik, jangan-jangan Pemilu 2029 ini bisa jauh lebih parah, lebih punya banyak masalah," pungkasnya.
Berita Terkait
-
Suap Hakim Demi Bebaskan Putranya, Ibunda Ronald Tannur Pede Ngaku Tak Bersalah
-
Perludem Desak Pemerintah Segera Bahas RUU Pemilu Biar Simulasi Tak Terburu-buru
-
Sebut Aksi Besar-besaran 20 Mei Dipolitisasi, KON: Ada yang Ngaku-ngaku Ojol Padahal Bukan!
-
Mewek di Sidang, Ibunda Ronald Tannur Merasa Diseret Pengacara Lisa: Jahat Sekali Dia!
-
Ogah Ikut Demo Besar-besaran Ojol di Jakarta 20 Mei, KBDJ: Kami Tetap Narik Cari Rezeki!
Terpopuler
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Ameena Akhirnya Pindah Sekolah Gegara Aurel Hermanyah Dibentak Satpam
- Cara Edit Foto yang Lagi Viral: Ubah Fotomu Jadi Miniatur AI Keren Pakai Gemini
- Pemain Keturunan Rp 20,86 Miliar Hubungi Patrick Kluivert, Bersedia Bela Timnas Oktober Nanti
- Ramai Reshuffle Kabinet Prabowo, Anies Baswedan Bikin Heboh Curhat: Gak Kebagian...
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Sebut Mulai Besok Dana Jumbo Rp200 Triliun Masuk ke Enam Bank
-
iPhone di Tangan, Cicilan di Pundak: Kenapa Gen Z Rela Ngutang Demi Gaya?
-
Purbaya Effect, Saham Bank RI Pestapora Hari Ini
-
Usai Dilantik, Menkeu Purbaya Langsung Tanya Gaji ke Sekjen: Waduh Turun!
-
Kritik Sosial Lewat Medsos: Malaka Project Jadi Ajak Gen Z Lebih Melek Politik
Terkini
-
Disindir 'Satu Jakarta Digali Semua', Gubernur Pramono Perintahkan SOP Baru Atasi Macet
-
Lampu Hijau untuk Skuad Baru Megawati: Kemenkum Sahkan DPP PDIP yang Baru
-
Eks Panglima TNI Sebut Prabowo Bisa Kena Imbas Pelanggaran HAM Berat jika Tak Copot Kapolri
-
Minta Bekingan LPSK, Keluarga Arya Daru Kini Diteror Kiriman Aneh Termasuk Bunga Kamboja!
-
Sindiran Ferry Irwandi: Polisi, TNI, Kini DPR Ikut Jadi Ancaman
-
KLH Temukan Sumber Pencemaran Radioaktif di Serang
-
Diperiksa KPK Pakai Peci Hitam, Eks Wamenaker Noel: Ini Simbol
-
Enam Pelaku Pembakaran Gedung DPRD Makassar dan Sulsel Dibebaskan
-
Pagar Laut Cilincing Blokade Nelayan Melaut, Pramono: Kami Tak Keluarkan Izin, Ini Kewenangan KKP
-
Terungkap Siapa Yudo Sadewa! Anak Menkeu Baru Ini Ternyata Trader Kripto