Suara.com - Suasana ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta memanas ketika sebuah prinsip hukum fundamental digemakan, berpotensi meruntuhkan seluruh bangunan dakwaan yang disusun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Adalah mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan, yang menyulut perdebatan ini saat tampil sebagai ahli dalam persidangan pada Kamis (19/6/2025).
Di hadapan majelis hakim, Maruarar memperkenalkan sebuah doktrin krusial yang dikenal sebagai fruit of the poisonous tree atau "buah dari pohon beracun". Doktrin ini, tegasnya, bisa menjadi penentu nasib perkara dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) dan perintangan penyidikan yang menjerat Hasto.
"Prinsipnya tegas. Satu alat bukti yang diperoleh secara tidak sah atau melanggar aturan, secara fundamental tidak boleh dipergunakan dalam persidangan," kata Maruarar dengan suara mantap di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ia melanjutkan dengan analogi yang lebih tajam, menggambarkan betapa berbahayanya jika pengadilan menoleransi bukti ilegal.
"Itu harus dieksklusi, tidak boleh dipakai. Dan jika nekat digunakan, itulah yang kami sebut sebagai 'buah dari pohon beracun'," tambah dia.
Menurut Maruarar, sekali sebuah bukti yang diperoleh secara ilegal—diibaratkan sebagai "pohon beracun"—digunakan, maka seluruh proses hukum yang mengikutinya akan ikut tercemar dan menjadi tidak sah. Validitas dan keadilan proses peradilan secara otomatis akan rusak.
"Tidak bisa dipakai kalau kita ambil acuannya seperti itu. Kalau kita nekat memakan buah beracun itu, kita bisa mati. Begitu pula dalam proses hukum, jika bukti beracun itu dipakai, maka proses itu menjadi mati atau tidak sah," ujar Maruarar, memberikan gambaran dramatis tentang konsekuensi hukumnya.
Untuk memperkuat argumennya, Maruarar bahkan merujuk pada standar tertinggi peradilan di Indonesia. Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara eksplisit mensyaratkan legalitas dalam perolehan alat bukti.
Baca Juga: Sidang Hasto, Mantan Hakim MK Sebut Penyelidikan Tak Bisa Sembarangan Dijerat Pasal Perintangan
"Jadi, di Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara tegas dikatakan, setiap alat bukti yang boleh diajukan di sidang adalah yang diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum," ucapnya.
"Jika ada pemohon yang mengajukan bukti untuk mendukung dalilnya, tapi dia peroleh dengan cara mencuri, maka alat bukti itu tidak boleh digunakan," sambung dia.
Kesaksian ini menjadi krusial mengingat dakwaan berlapis yang dihadapi Hasto Kristiyanto. Jaksa mendakwa Hasto tidak hanya terlibat dalam kasus suap, tetapi juga aktif merintangi proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK.
Dalam dakwaan suap, Hasto disebut memberikan uang sebesar Rp 400 juta untuk memuluskan jalan bagi buronan Harun Masiku agar bisa dilantik menjadi anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia. Atas perbuatan ini, ia dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Tipikor.
Namun, dakwaan yang lebih pelik adalah terkait perintangan penyidikan, di mana legalitas cara KPK memperoleh informasi menjadi sangat relevan. Menurut Ketua KPK, Setyo Budiyanto, saat mengumumkan status tersangka pada 24 Desember 2024 lalu, Hasto ditetapkan berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) terpisah.
Setyo membeberkan serangkaian tindakan yang diduga dilakukan Hasto. "Bahwa pada tanggal 8 Januari 2020, saat proses tangkap tangan KPK, HK (Hasto Kristiyanto) memerintahkan seseorang untuk menelepon Harun Masiku supaya merendam Handphone-nya dalam air dan segera melarikan diri," kata Setyo.
Berita Terkait
-
Sidang Hasto, Mantan Hakim MK Sebut Penyelidikan Tak Bisa Sembarangan Dijerat Pasal Perintangan
-
Usut Kasus Korupsi CSR, KPK Panggil Deputi Gubernur BI Hingga Ketua Panja OJK
-
Eks Hakim MK Maruarar Siahaan Jadi Ahli Meringankan Hasto Kristiyanto
-
Ngaku Pakai Kecerdasan Buatan, Hasto Klaim Pledoinya Jadi yang Pertama Dibuat Gunakan AI
-
Jadi Ahli di Sidang Hasto, Eks Hakim MK: Perintangan Penyidikan Tak Bisa Digunakan Saat Penyelidikan
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO