Suara.com - Plastik tak lagi hanya mengotori daratan dan lautan. Kini, ia hadir dalam bentuk jauh lebih kecil, mikro dan nanoplastik, yang menyusup ke udara, air, dan bahkan makanan yang kita konsumsi. Dalam jumlah yang tak kasatmata, partikel ini bergerak tanpa kendali, menembus batas-batas alam dan tubuh manusia.
Kondisi ini mendorong ilmuwan seperti Melanie MacGregor, Lektor Kepala Universitas Flinders di Australia, untuk menyerukan tindakan global yang lebih tegas.
Bersama Koalisi Ilmuwan untuk Perjanjian Plastik yang Efektif, ia akan menghadiri negosiasi di Jenewa pada 5–14 Agustus 2025 guna mendesak lahirnya perjanjian plastik yang bersifat mengikat secara hukum.
“Nanoplastik menjadi ancaman besar bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena melepaskan partikel serta zat kimia ke mana-mana, mulai dari produksi, pemakaian, hingga pembuangannya,” ujar MacGregor seperti dikutip dari Phys.
Data global menunjukkan lebih dari setengah plastik di dunia diproduksi setelah tahun 2000, mayoritas untuk kebutuhan sekali pakai. Namun, kurang dari 10% yang berhasil didaur ulang. Sisanya menyebar ke berbagai penjuru bumi, terurai menjadi mikro hingga nanoplastik yang semakin sulit dikendalikan.
Di Australia Selatan, misalnya, studi terbaru mencatat bahwa 72 persen mikroplastik yang ditemukan di perairan tawar adalah serat dari pakaian sintetis dan limbah rumah tangga. Partikel-partikel ini tak hanya mengalir ke sungai dan laut, tapi juga terserap ke dalam tanah dan udara perkotaan.
Bagi MacGregor, ini bukan soal kebersihan semata, melainkan krisis lingkungan yang membutuhkan intervensi serius.
Ia menyerukan pembatasan ketat pada bahan kimia berbahaya dalam produksi plastik dan penghapusan mikroplastik yang sengaja ditambahkan dalam produk seperti kosmetik, cat, dan tekstil.
“Tanpa aturan ketat, kita akan terus melihat jutaan ton mikroplastik berubah menjadi nanoplastik yang jauh lebih sulit dikendalikan,” tegasnya.
Baca Juga: Mobil Hidrogen Ternyata Tak Lebih Bersih Dibandingkan Mobil Listrik
Negosiasi di Jenewa akan menjadi momen krusial. Jika berhasil, ini akan menjadi perjanjian internasional pertama yang secara legal memaksa negara-negara untuk menurunkan polusi plastik dari sumbernya. Para ilmuwan menegaskan bahwa kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Gunung Guruh Bogor Kian Masif, Isu Dugaan Beking Aparat Mencuat
-
Sidang Ditunda! Nadiem Makarim Sakit Usai Operasi, Kuasa Hukum Bantah Tegas Dakwaan Cuan Rp809 M
-
Hujan Deras, Luapan Kali Krukut Rendam Jalan di Cilandak Barat
-
Pensiunan Guru di Sumbar Tewas Bersimbah Darah Usai Salat Subuh
-
Mendagri: 106 Ribu Pakaian Baru Akan Disalurkan ke Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Angin Kencang Tumbangkan Pohon di Ragunan hingga Tutupi Jalan
-
Pohon Tumbang Timpa 4 Rumah Warga di Manggarai
-
Menteri Mukhtarudin Lepas 12 Pekerja Migran Terampil, Transfer Teknologi untuk Indonesia Emas 2045
-
Lagi Fokus Bantu Warga Terdampak Bencana, Ijeck Mendadak Dicopot dari Golkar Sumut, Ada Apa?
-
KPK Segel Rumah Kajari Bekasi Meski Tak Ditetapkan sebagai Tersangka