Suara.com - Transisi energi menuju sumber terbarukan menjadi jalan utama melawan krisis iklim. Namun, di balik citra “hijau” dan ramah lingkungan, muncul peringatan keras, energi terbarukan bukan tanpa dampak.
Di provinsi Jaén, Spanyol, empat proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di kota kecil Lopera, bersama 20 proyek lain yang direncanakan, terancam memusnahkan lebih dari 100.000 pohon zaitun, sumber penghidupan utama warga sekaligus warisan ekologis kawasan.
“Hijau seharusnya berarti merawat dan melindungi lingkungan, bukan malah menghancurkannya,” kata Natalia Corbalán dari platform SOS Rural, salah satu organisasi yang menggugat proyek-proyek tersebut.
Mereka menilai istilah "energi hijau" digunakan terlalu bebas tanpa mempertimbangkan dampaknya di lapangan.
Kritik serupa juga ditujukan pada proyek angin lepas pantai, yang dinilai mengganggu habitat laut, mengancam jalur migrasi burung, dan bisa berbenturan dengan aktivitas nelayan tradisional.
Lebih jauh lagi, transisi energi ini bergantung pada penambangan besar-besaran, baik untuk panel surya, turbin angin, maupun baterai kendaraan listrik. Ironisnya, proses ekstraksi material seperti litium atau nikel justru menyebabkan degradasi lingkungan baru.
“Hijau” tapi merusak?
Para ahli lingkungan menegaskan bahwa energi terbarukan tetap penting untuk menekan emisi. Namun, perencanaannya harus jauh lebih matang. Tanpa itu, yang terjadi justru penolakan sosial, konflik lahan, dan rusaknya lanskap serta ekonomi lokal.
Daniel Jato Espino, peneliti Universitas Internasional Valencia, memperingatkan bahwa “perlombaan membabi buta mengejar megawatt” justru bisa menciptakan resistensi dari masyarakat.
Baca Juga: Pangan Biru Jadi Solusi Iklim dan Pelestarian Kuliner Nusantara
Solusinya, lokasi yang tepat dan minim dampak. Menurut WWF, hanya dibutuhkan kurang dari 2% wilayah Spanyol untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi nasional, asal dirancang dengan benar dan partisipatif.
Transisi energi harus adil, bukan brutal
Kisah di Spanyol membuka mata bahwa energi terbarukan pun bisa menimbulkan kerusakan, jika tidak disertai dengan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat lokal.
Transisi energi yang benar, kata para pakar, bukan sekadar soal kecepatan, tapi soal keadilan dan keberlanjutan jangka panjang.
Ingin versi yang lebih singkat untuk media sosial, atau angle yang lebih mendalam untuk edukasi publik? Saya bisa bantu juga.
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Doa Buka Puasa Rajab Lengkap dengan Artinya, Jangan Sampai Terlewat!
-
Pedagang Korban Kebakaran Pasar Induk Kramat Jati Mulai Tempati Kios Sementara
-
Buku "Jokowi's White Paper" Ditelanjangi Polisi: Cuma Asumsi, Bukan Karya Ilmiah
-
Gibran Turun Gunung ke Nias, Minta Jembatan 'Penyelamat' Siswa Segera Dibangun
-
Mensos Salurkan Santunan Rp15 Juta bagi Ahli Waris Korban Bencana di Sibolga
-
Anjing Pelacak K-9 Dikerahkan Cari Korban Tertimbun Longsor di Sibolga-Padangsidimpuan
-
Ibu-Ibu Korban Bencana Sumatra Masih Syok Tak Percaya Rumah Hilang, Apa Langkah Mendesak Pemerintah?
-
Eks Wakapolri Cium Aroma Kriminalisasi Roy Suryo Cs di Kasus Ijazah Jokowi: Tak Cukup Dilihat
-
Nasib 2 Anak Pengedar Narkoba di Jakbar: Ditangkap Polisi, 'Dilepas' Gara-gara Jaksa Libur
-
Mendiktisaintek: Riset Kampus Harus Bermanfaat Bagi Masyarakat, Tak Boleh Berhenti di Laboratorium