Suara.com - Perundingan global untuk mengatasi krisis polusi plastik kembali digelar di Jenewa pekan ini, namun perbedaan tajam antarnegara masih mengancam hasil akhirnya.
Polusi plastik kini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi krisis kesehatan global. Mikroplastik ditemukan di puncak Himalaya, di dasar laut terdalam, bahkan masuk ke darah dan organ manusia. Produksi plastik dunia mencapai 460 juta ton per tahun, setengahnya sekali pakai, dan kurang dari 10 persen yang didaur ulang.
Namun, saat dunia sepakat sejak 2022 untuk menyusun perjanjian global demi mengendalikan polusi plastik sebelum akhir 2024, prosesnya tersendat. Dalam perundingan terakhir di Korea Selatan, perbedaan visi antara negara-negara tetap belum terjembatani.
Kini, negosiator dari hampir 180 negara berkumpul selama 10 hari di Jenewa untuk mencoba merumuskan pakta yang ambisius. Tapi masalah mendasarnya tetap sama: apakah produksi plastik baru harus dibatasi?
Negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Rusia, yang bergantung pada industri minyak dan petrokimia, menolak ide tersebut. Sebaliknya, lebih dari 90 negara, termasuk negara-negara kepulauan kecil dan Uni Eropa, mendorong perjanjian yang mencakup seluruh siklus hidup plastik, mulai dari produksi hingga pengelolaan limbah.
“Perjanjian ini seharusnya bukan hanya soal pengelolaan sampah,” kata Ilane Seid dari Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (AOSIS). “Kami butuh solusi menyeluruh untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan ekosistem.”
Konflik lain menyangkut daftar bahan kimia yang dianggap berbahaya. Salah satu contohnya adalah PFAS, senyawa sintetis yang dikenal sebagai “bahan kimia abadi” karena sangat sulit terurai dan ditemukan di berbagai produk rumah tangga serta lingkungan.
Bjorn Beeler, dari jaringan IPEN yang berfokus pada bahan kimia beracun, mengatakan draf hasil perundingan sebelumnya memuat lebih dari 300 poin perdebatan.
“Artinya, ada lebih dari 300 konflik yang harus diselesaikan,” katanya.
Baca Juga: SBY: AI, Disinformasi, dan Krisis Iklim Ancam Peradaban
Di balik layar, sumber diplomatik menyebut atmosfer perundingan juga dipengaruhi oleh ketidakpastian geopolitik, termasuk sikap Amerika Serikat terhadap inisiatif multilateral, yang bisa berubah drastis tergantung hasil Pilpres mendatang.
Sementara itu, tekanan publik dan kelompok sipil semakin meningkat. “Pemerintah harus bertindak demi kepentingan rakyat, bukan pencemar,” kata Graham Forbes dari Greenpeace, yang menyoroti kuatnya pengaruh pelobi industri di meja perundingan.
Jika tidak ada langkah tegas, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan konsumsi plastik bisa meningkat tiga kali lipat pada 2060. UNEP pun memperingatkan, tanpa aksi global, jumlah plastik di lautan dan tanah bisa melonjak 50% hanya dalam 15 tahun.
Dengan waktu yang terus menipis, banyak pihak berharap perundingan di Jenewa tidak sekadar menunda lagi, melainkan benar-benar menghasilkan langkah konkret.
“Yang kita butuhkan bukan hanya kerangka kerja,” kata Beeler, “tapi keberanian dan komitmen nyata agar perjanjian ini berdampak.”
Berita Terkait
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Mendiktisaintek: Riset Kampus Harus Bermanfaat Bagi Masyarakat, Tak Boleh Berhenti di Laboratorium
-
Dengarkan Keluhan Warga Soal Air Bersih di Wilayah Longsor, Bobby Nasution Akan Bangunkan Sumur Bor
-
Di Balik OTT Bupati Bekasi: Terkuak Peran Sentral Sang Ayah, HM Kunang Palak Proyek Atas Nama Anak
-
Warga Bener Meriah di Aceh Alami Trauma Hujan Pascabanjir Bandang
-
Mutasi Polri: Jenderal Polwan Jadi Wakapolda, 34 Srikandi Lain Pimpin Direktorat dan Polres
-
Tinjau Lokasi Bencana Aceh, Ketum PBNU Gus Yahya Puji Kinerja Pemerintah
-
Risma Apresiasi Sopir Ambulans dan Relawan Bencana: Bekerja Tanpa Libur, Tanpa Pamrih
-
Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Gunung Guruh Bogor Kian Masif, Isu Dugaan Beking Aparat Mencuat
-
Sidang Ditunda! Nadiem Makarim Sakit Usai Operasi, Kuasa Hukum Bantah Tegas Dakwaan Cuan Rp809 M
-
Hujan Deras, Luapan Kali Krukut Rendam Jalan di Cilandak Barat