- 2024 pecahkan rekor suhu terpanas, baik secara global maupun di Indonesia.
- BMKG dan FAO peringatkan risiko krisis pangan global pada tahun 2050.
- Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) digalakkan untuk melatih petani hadapi perubahan.
Suara.com - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengonfirmasi ancaman krisis pangan global semakin nyata setelah data menunjukkan tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah pengamatan, baik di tingkat global maupun nasional.
Suhu rata-rata global pada 2024 tercatat mencapai 1,55 °C di atas level pra-industri (1850–1900), sebuah angka yang secara resmi melampaui ambang batas aman 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Di Indonesia, situasinya tidak berbeda.
"Di Indonesia, tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun terpanas sejak pengamatan tahun 1981, dengan suhu rata-rata 27,5 °C dan anomali 0,8 °C terhadap normal 1991—2020," ungkap Dwikorita dalam pernyataannya, Rabu (24/9/2025).
Dwikorita menegaskan bahwa kondisi bumi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Peningkatan intensitas bencana dan krisis air telah berdampak luas, terutama pada sektor pertanian.
Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan memprediksi dunia akan menghadapi ancaman krisis pangan serius pada tahun 2050 jika kenaikan suhu tidak dapat dikendalikan.
"Kondisi ini dipicu kombinasi pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca serta anomali iklim regional. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor pertanian yang sangat rentan terhadap iklim," ujarnya.
Adaptasi menjadi Kunci
Sebagai respons, BMKG mengintensifkan program Sekolah Lapang Iklim (SLI) di berbagai daerah untuk membantu petani beradaptasi.
Baca Juga: Indonesia Siap Berkontribusi Nyata Lawan Perubahan Iklim, Begini Caranya!
Melalui program ini, petani dilatih untuk memahami prediksi iklim, menyesuaikan pola tanam, memilih varietas tanaman yang tahan banting, hingga menerapkan teknik panen air hujan.
Keterampilan ini menjadi krusial karena metode penanggalan tanam tradisional Jawa, atau titi mongso, kini tidak lagi relevan.
"Karena perubahan iklim, saat ini titi mongso menjadi tidak relevan. Padahal petani di Indonesia terbiasa dengan titi mongso," katanya.
Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, menyambut baik program ini.
Ia menekankan bahwa pertanian adalah tulang punggung ekonomi wilayahnya, sekaligus sektor yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
"Dengan SLI, petani belajar langsung menerapkan informasi iklim ke usaha tani, sehingga lebih siap menghadapi kekeringan maupun hujan ekstrem,” ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Moisturizer Mengandung SPF untuk Usia 40 Tahun, Cegah Flek Hitam dan Penuaan
- PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
- 4 Mobil Bekas 50 Jutaan Muat 7-9 Orang, Nyaman Angkut Rombongan
- Daftar Mobil Bekas yang Harganya Paling Stabil di Pasaran
- 3 Pemain Naturalisasi Baru Timnas Indonesia untuk Piala Asia 2027 dan Piala Dunia 2030
Pilihan
-
Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
-
4 HP 5G Paling Murah November 2025, Spek Gahar Mulai dari Rp 2 Jutaan
-
6 HP Snapdragon dengan RAM 8 GB Paling Murah, Lancar untuk Gaming dan Multitasking Intens
-
Harga Emas di Pegadaian Stabil Tinggi Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Kompak Naik
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
Terkini
-
Motif Pelaku Ledakan di SMAN 72: KPAI Sebut Dugaan Bullying hingga Faktor Lain
-
Siswa SMAN 72 Terapkan Pembelajaran Online 34 Hari untuk Redam Trauma Usai Ledakan
-
Garis Polisi di SMA 72 Dicabut, KPAI Fokus Pulihkan Trauma Ratusan Siswa dan Guru
-
IPW: Penetapan Tersangka Roy Suryo Cs Sesuai SOP
-
Tampang Sri Yuliana, Penculik Bocah Bilqis di Makassar, Ngaku Kasihan Korban Tak Punya Ortu
-
Anggaran Proyek Monumen Reog Ponorogo Dikorupsi?
-
Dijual Rp80 Juta ke Suku Anak Dalam Jambi, Terungkap Jejak Pilu Penculikan Bocah Bilqis
-
DPD RI Gaungkan Gerakan Green Democracy Lewat Fun Walk dan Penanaman Pohon Damar
-
Terungkap! Bocah Bilqis Hilang di Makassar Dijual ke Kelompok Suku Anak Dalam Jambi Rp 80 Juta
-
Bukan Soal Kontroversi, Ini Alasan Soeharto Disebut Layak Dihargai Sebagai Pahlawan Nasional