News / Internasional
Minggu, 28 September 2025 | 13:38 WIB
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Baca 10 detik
  • Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair ditunjuk menjadi pemimpin transisi Gaza.
  • Menurut laporan, Blair akan bertanggung jawab atas rekonstruksi Gaza.
  • Penunjukan Blair menuai kontroversi karena dinilai pro Israel dan terlibat perang Irak.

Suara.com - Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dikabarkan ditunjuk menjadi pemimpin transisi Gaza. Hal ini terkait proposal Amerika Serikat yang mendukung Blair memimpin otoritas transisi di Gaza, Palestina.

Menurut laporan BBC, Blair sedang dalam pembicaraan untuk menjadi kepala badan bernama Gaza International Transitional Authority (GITA). Tugasnya mengawasi rekonstruksi dan pemerintahan sementara di wilayah Gaza pasca-konflik Israel dengan Hamas.

Proposal ini mendapat dukungan dari Presiden AS Donald Trump. Menurut Trump, Blair adalah figur berpengalaman untuk menangani situasi rumit di Timur Tengah.

Lantas, seperti apa profil Tony Blair? Ini rekam jejak pendidikan, karier, dan kontroversi Tony Blair.

Profil Tony Blair dan Kontroversinya

Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair (Instagram)

Tony Blair lahir pada 6 Mei 1953 di Edinburgh, Skotlandia. Ia adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Inggris pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.

Sosoknya berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang pengacara dan aktivis politik Konservatif, sementara ibunya berasal dari Irlandia Utara.

Blair menempuh pendidikan di Fettes College, sekolah bergengsi di Skotlandia, sebelum melanjutkan studi hukum di St John's College, Oxford University.

Di sana, ia aktif dalam kegiatan musik rock dan politik mahasiswa, yang membentuk karakternya sebagai pemimpin karismatik.

Baca Juga: UNEP Peringatkan Kerusakan Gaza Bukan Hanya Kemanusiaan, Tapi Juga Lingkungan

Setelah lulus pada 1975, Blair bekerja sebagai pengacara di London. Di sinilah ia bertemu dengan istrinya, Cherie Booth, yang juga seorang pengacara sukses.

Karir politik Blair dimulai ketika ia bergabung dengan Partai Buruh pada akhir 1970-an. Ia terpilih sebagai anggota parlemen untuk daerah pemilihan Sedgefield pada 1983 di usia yang relatif muda.

Blair dengan cepat naik pangkat dalam partai. Ia sukses menjadi juru bicara oposisi untuk urusan keuangan dan kemudian pemimpin oposisi.

Pada 1994, setelah kematian mendadak pemimpin Partai Buruh John Smith, Blair terpilih sebagai pemimpin partai. Ia mereformasi Partai Buruh menjadi "New Labour", yang lebih sentris dan pro-bisnis, meninggalkan ideologi sosialis tradisional.

Strategi ini membuahkan hasil pada Pemilu 1997. Partainya meraih kemenangan telak, mengakhiri 18 tahun kekuasaan Partai Konservatif. Blair pun terpilih menjadi Perdana Menteri termuda sejak 1812, pada usia 43 tahun.

Selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri dari 1997 hingga 2007, Blair memimpin Inggris melalui periode pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Ia memperkenalkan reformasi seperti kenaikan upah minimum nasional, reformasi pendidikan, dan peningkatan pendanaan untuk layanan kesehatan NHS.

Namun, warisannya paling kontroversial adalah kebijakan luar negerinya, khususnya keterlibatan Inggris dalam Perang Iraq pada 2003.

Blair mendukung invasi AS ke Iraq dengan alasan senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti, yang menyebabkan kritik keras dari dalam negeri dan internasional.

Keputusan ini membuatnya dijuluki "Bliar" oleh para pengkritik, dan hingga kini menjadi noda dalam karirnya.

Meskipun demikian, Blair juga berperan dalam resolusi konflik di Irlandia Utara melalui Perjanjian Good Friday 1998, yang membawa perdamaian relatif ke wilayah tersebut.

Setelah mundur dari jabatan Perdana Menteri pada 2007, Blair tidak pensiun dari panggung dunia. Ia ditunjuk sebagai utusan khusus untuk Kuartet Timur Tengah (Quartet on the Middle East), yang terdiri dari AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB, dari 2007 hingga 2015.

Dalam peran ini, Blair fokus pada pembangunan ekonomi Palestina dan negosiasi perdamaian antara Israel dan Palestina.

Ia sering mengunjungi Gaza dan Tepi Barat, bekerja sama dengan pemimpin lokal untuk meningkatkan infrastruktur dan ekonomi. Pengalaman ini membuatnya dianggap sebagai ahli dalam isu Timur Tengah.

Pada 2016, Blair mendirikan Tony Blair Institute for Global Change, sebuah organisasi nirlaba yang memberikan konsultasi kepada pemerintah di seluruh dunia tentang reformasi dan pembangunan.

Institut miliknya telah bekerja di lebih dari 30 negara, termasuk di Afrika dan Asia. Fokusnya bergerak pada bidang teknologi, pendidikan, dan tata kelola.

Kembali ke proposal terkini, ide untuk menjadikan Blair sebagai pemimpin transisi Gaza muncul sebagai bagian dari rencana pasca-perang yang didukung oleh AS.

Menurut laporan, GITA akan bertanggung jawab atas rekonstruksi Gaza, termasuk pembangunan infrastruktur, distribusi bantuan kemanusiaan, dan persiapan pemilu demokratis untuk menggantikan Hamas.

Trump, yang dilaporkan memberikan restu, melihat Blair sebagai sosok netral yang bisa diterima oleh Israel. Di sisi lain, PM Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel harus mempertahankan kendali keamanan.

Namun, proposal tersebut menuai kontroversi. Pihak Palestina dan Arab mengkritik Blair yang dianggap terlalu pro-Israel dan terlibat dalam Perang Iraq.

Jika proposal ini terealisasi, Blair akan menghadapi tantangan besar, yaitu membangun Gaza yang hancur akibat perang, menjamin keamanan, dan memfasilitasi transisi kekuasaan yang damai.

Di usia 72 tahun, Blair tetap aktif dan berpengaruh, dengan kekayaan pribadi yang diperkirakan mencapai puluhan juta pound dari konsultasi dan buku-bukunya. Buku otobiografinya, "A Journey" (2010), menjadi bestseller dan memberikan wawasan tentang pemikirannya.

Meskipun kontroversial, Tony Blair tetap menjadi figur yang tidak bisa diabaikan dalam politik global.

Pemilihan Tony Blair sebagai pemimpin transisi Gaza bisa menjadi babak baru dalam karirnya, atau justru memperburuk peran Barat di Timur Tengah.

Load More