News / Nasional
Senin, 29 Desember 2025 | 22:41 WIB
Kegiatan AMAN Bengkulu bersama komunitas masyarakat adat di Provinsi Bengkulu di Bengkulu, Senin. 29/12/2025) ANTARA/HO-Dokumen Pribadi
Baca 10 detik
  • Konflik agraria di Bengkulu melibatkan 56 komunitas adat atas luasan wilayah 202,89 ribu hektare.
  • Sektor kawasan hutan negara menjadi penyebab konflik terbesar dengan luasan mencapai 143.108 hektare.
  • AMAN mendesak pemerintah daerah Bengkulu menunjukkan sikap politik jelas terkait pengakuan dan perlindungan hak adat.

Suara.com - Konflik agraria yang melibatkan komunitas masyarakat adat di Provinsi Bengkulu kian meluas sepanjang 2025. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ratusan ribu hektare wilayah adat kini berhadapan langsung dengan klaim kawasan hutan negara, aktivitas pertambangan, hingga ekspansi perkebunan.

Ketua AMAN Wilayah Bengkulu Fahmi Arisandi menyebut total luasan wilayah adat yang berkonflik mencapai 202,89 ribu hektare dan tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota di Bengkulu.

"Konflik wilayah adat ini menyebar di seluruh Provinsi Bengkulu, dan sektor kawasan hutan negara menjadi penyebab konflik paling besar," kata Fahmi, seperti dikutip dari Antara, Senin (29/12/2025).

Berdasarkan catatan AMAN, konflik terbesar terjadi pada sektor kawasan hutan yang diklaim sebagai milik negara dengan luasan mencapai 143.108 hektare. Sementara konflik dengan sektor pertambangan tercatat seluas 38,93 ribu hektare dan sektor perkebunan sekitar 20,86 ribu hektare.

"Ada 56 komunitas masyarakat adat yang sedang berkonflik dengan tiga sektor ini," kata Fahmi.

Menurut Fahmi, dominasi konflik dengan kawasan hutan negara tidak lepas dari persoalan mendasar dalam tata kelola kebijakan kehutanan. Ia menilai penetapan status kawasan hutan selama ini kerap dilakukan tanpa melibatkan komunitas adat yang telah lebih dahulu hidup dan menggantungkan kehidupannya di wilayah tersebut.

Ia mencontohkan konflik yang dialami komunitas adat Sungai Lisai di Kabupaten Lebong. Berdasarkan pengetahuan turun-temurun dan catatan para leluhur, wilayah yang kini dikenal sebagai Kampung Sungai Lisai telah lama menjadi bagian dari wilayah adat mereka.

Komunitas Sungai Lisai diketahui telah bermukim jauh sebelum negara menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan. Selama puluhan tahun, masyarakat adat setempat mengelola dan menjaga hutan dengan kearifan lokal, termasuk menanam padi Riun yang dianggap sebagai amanah para leluhur.

Di tengah tingginya potensi konflik tersebut, Fahmi menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan ke depan. Ia berharap pada 2026 para kepala daerah di Bengkulu mulai menunjukkan sikap politik dan kebijakan yang jelas terhadap isu masyarakat adat.

Baca Juga: Gempa M5,6 Guncang Pesisir Bengkulu, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Menurutnya, ancaman konflik tidak hanya terjadi di Bengkulu, tetapi juga menjadi persoalan nasional. Negara, kata Fahmi, telah berkomitmen untuk mengembalikan 1,4 juta hektare hutan adat kepada masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, ia menilai dibutuhkan keselarasan kebijakan antara pusat dan daerah, serta perspektif pembangunan yang benar-benar memberi ruang bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.

"Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Bengkulu adalah amanah konstitusi dan menjadi mandat bagi para kepala daerah. Jadi, jalankan dan tunaikan," ujar Fahmi dalam catatan akhir tahun AMAN Bengkulu.

Load More