News / Nasional
Selasa, 30 September 2025 | 13:00 WIB
ilustrasi peristiwa G30S/PKI (gramedia.com)
Baca 10 detik
  • Monumen Pancasila Sakti disebut memiliki peran penting sebagai pengingat sekaligus tempat edukasi.
  • Sementara bagi generasi muda, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memahami sejarah.
  • Pesan yang ia sampaikan kepada generasi muda sederhana namun mendalam, jangan mudah terpengaruh orang lain sebelum benar-benar mengenalnya.

Suara.com - Pembahasan soal sejarah kelam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI selalu berulang tiap tahunnya, terutama menjelang 30 September.

Hingga kini, kisah tentang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal TNI Angkatan Darat serta kekacauan politik yang menyertainya masih menjadi topik penting dalam pembelajaran sejarah bangsa.

Bagi sebagian orang yang hidup di era tersebut, kenangan tentang peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam.

Sementara bagi generasi muda, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya memahami sejarah, agar bangsa tidak terjebak dalam provokasi dan perpecahan yang sama.

Berikut kisah dan pandangan dari beberapa orang dengan latar belakang berbeda mengenai G30S/PKI dan Monumen Pancasila Sakti.

Syarif Ramli (68), salah satu saksi yang mengalami langsung momen itu saat kelas 1 SD, di Tebet Barat.

Beliau masih ingat betul bagaimana situasi pada malam kejadian.

“Setahu saya waktu gerakan itu, lampu-lampu pada mati semua, dimatiin. Waktu itu pemancar RRI satu-satunya juga nggak berkumandang, nggak ada,” kenangnya.

Beberapa hari setelah itu, kabar duka mulai terdengar. Terlebih ada sejumlah jenderal yang diculik.

Baca Juga: Mengapa PKI Tidak Dibubarkan Soekarno Bahkan Setelah G30S? Ini 5 Alasannya

“Saya dengar para jenderal diculik, lalu meninggal, dan akhirnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan,” ujarnya.

Bagi Syarif, sejarah ini penting dipelajari generasi sekarang agar mereka paham betapa ganasnya PKI.

Ia menilai Monumen Pancasila Sakti memiliki peran penting sebagai pengingat sekaligus tempat edukasi.

“Monumen ini menggambarkan tujuh jenderal, jadi warga tahu, ‘Oh, ini waktu pembunuhannya, situasinya seperti ini.’ Terlalu kejam,” tuturnya dengan nada serius.

Sementara itu, Sutrisno, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SD di Tanjungkarang, Kudus, mengingat jelas suasana mencekam pasca peristiwa tersebut.

“Waktu itu rumah-rumah diacak-acak. Orang-orang disuruh keluar dengan tangan diangkat sama Kopassus. Mereka cari dokumen-dokumen. Kalau ada nama yang dicurigai, orangnya langsung dibawa,” ungkap Sutrisno.

Pabrik rokok di daerahnya bahkan dijadikan tempat tahanan sementara.

“Setiap hari mencekam. Tahu-tahu tetangga diambil, orang depan rumah juga. Seenaknya aja gitu,” ceritanya.

Meski ia masih kecil dan tidak terlalu merasa takut, keluarganya sangat berhati-hati.

Keluarganya saat itu ketakutan, nggak berani ngomong ke mana-mana.

Pesan yang ia sampaikan kepada generasi muda sederhana namun mendalam, jangan mudah terpengaruh orang lain sebelum benar-benar mengenalnya.

“Sebelum pemberontakan PKI, walaupun keadaan ekonomi susah, kehidupan itu damai-damai aja,” kenangnya.

Berbeda dengan mereka yang mengalami atau berada langsung saat tragedi itu, generasi Z seperti Nada dan Thoriq mengenal G30S/PKI hanya melalui film dan pelajaran sekolah.

Salah satu kenangan yang paling membekas adalah adegan dalam film G30S/PKI yang menggambarkan tragedi di rumah Jenderal Nasution.

“Scene yang waktu di rumah Nasution itu sedih banget. Ade Irma ketembak, istrinya meraung-raung, suaminya dibawa. Itu paling berkesan,” ceritanya.

Nada juga mengingat momen upacara di sekolah, di mana bendera dikibarkan setengah tiang setiap tanggal 30 September.

Menurutnya, memahami peristiwa ini penting agar generasi sekarang tahu alasan Indonesia tetap berpegang pada ideologi Pancasila.

“Dengan belajar tentang pengkhianatan PKI, kita jadi tahu ada sekelompok orang yang punya ambisi politik besar banget, sampai rela mengorbankan banyak nyawa hanya untuk mengkudeta negara,” jelasnya.

Ia kemudian bercerita saat berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, bagian yang paling membekas baginya bukanlah patung-patung jenderal, melainkan replika rumah tempat para jenderal disiksa.

“Di bagian rumah kayak replika tempat penyiksaan jenderal nya, kayak kursi-kursi yang diduduki jenderal nya waktu dia disiksa, waktu dilukain pake senjata, menurutku paling ngenes, aduh tega banget,” ujarnya.

Nada melihat monumen tersebut lebih sebagai tempat mengenang, meski ia tak menampik bahwa unsur edukasi tetap ada.

“Ada replika rumah penyiksaannya, kita lebih terngiang-ngiang tentang keadaan yang mengerikannya,” katanya.

Thoriq, generasi Z, mengaku pengetahuannya tidak mendalam, namun cukup untuk memahami garis besar peristiwa tersebut.

Menurut Thoriq, G30S/PKI mencerminkan bagaimana masyarakat bisa dengan mudah terprovokasi.

“Dulu orang bisa tinggal diteriakin ‘PKI! PKI!’ langsung dihabisi tanpa bukti jelas. Hal seperti ini masih sering terjadi di zaman sekarang, hanya bentuknya berbeda,” ujarnya.

Bagi Thoriq, pelajaran terpenting dari tragedi ini adalah pentingnya bersikap kritis terhadap informasi yang diterima.

“Peristiwa ini menunjukkan bahwa orang Indonesia itu rapuh secara mentalitas. Mudah sekali terhasut oleh isu yang belum jelas kebenarannya,” jelasnya.

Ia juga melihat adanya sisi gelap sejarah yang ditutupi oleh kepentingan politik.

“Menurut aku, fakta tentang G30S/PKI banyak yang ditutupi, terutama oleh rezim Soeharto. Ada kebenaran yang seharusnya publik tahu, tapi karena kepentingan tertentu, kebenaran itu tertutup hingga sekarang,” tuturnya.

Reaksi warga atas pemutaran Film G30SPKI. (Suara.com)

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya menjadi salah satu situs bersejarah yang mengabadikan tragedi G30S/PKI.

Dari patung tujuh jenderal hingga replika rumah penyiksaan, monumen ini memiliki peran ganda, tempat mengenang sekaligus sarana edukasi.

Bagi generasi yang pernah mengalami langsung peristiwa tersebut, monumen ini adalah simbol kejamnya pengkhianatan PKI.

Namun bagi generasi muda, monumen ini juga menjadi tempat untuk memahami sejarah dengan lebih nyata dan mendalam.

Seperti kata Nada, “Kita jadi paham kenapa Indonesia tetap memakai ideologi Pancasila, sekaligus melihat bagaimana ambisi politik yang besar bisa membuat sekelompok orang tega mengorbankan banyak nyawa demi merebut kekuasaan.”

Dari cerita Pak Syarif Ramli, Pak Sutrisno, Nada, hingga Thoriq, terlihat bagaimana satu peristiwa dapat dimaknai berbeda oleh tiap generasi.

Meski perspektif berbeda, satu pesan tetap sama, pentingnya belajar sejarah agar tragedi serupa tidak terulang.

Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi juga cermin untuk melihat masa kini dan masa depan Indonesia.

Reporter : Maylaffayza Adinda Hollaoena

Load More