News / Nasional
Selasa, 04 November 2025 | 10:38 WIB
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra. (Foto dok. Kemenko Kumham Imipas RI)
Baca 10 detik
  • Yusril Ihza Mahendra menyatakan penegakan hukum di Indonesia masih sangat mencerminkan ketimpangan kelas sosial dan ekonomi yang tinggi
  • Sebagai contoh, warga yang berani menggugat kebijakan korporasi atau pemerintah sering kali dianggap pengganggu dan berisiko dikriminalisasi
  • Yusril mendorong reformasi hukum yang berpihak pada kelompok terpinggirkan serta perluasan akses bantuan hukum gratis (pro bono) agar keadilan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat

Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengakui masih ada ketimpangan praktik penegakan hukum di Indonesia. Ia menyoroti bagaimana ketimpangan sosial dan ekonomi secara nyata telah menciptakan standar ganda, membuat hukum terasa bengis bagi masyarakat bawah namun tak berdaya saat berhadapan dengan kelompok elit.

Pernyataan ini disampaikannya di hadapan para akademisi dan praktisi hukum dalam acara "1st Andalas Law Conference" yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas, Sumatera Barat. Menurut Yusril, kesenjangan kelas di Tanah Air sudah begitu parah hingga merasuk ke dalam sistem peradilan.

"Indonesia masih mengalami tingkat kesenjangan kelas yang tinggi yang tercermin dalam cara hukum dijalankan," kata Yusril Ihza Mahendra di Kota Padang, Senin (4/11/2025).

Yusril tidak hanya berbicara secara teoretis. Ia membeberkan contoh konkret bagaimana ketidakadilan itu bekerja di lapangan. Menurutnya, penegakan hukum yang timpang justru semakin melanggengkan ketidakadilan ekonomi yang sudah ada.

Ia mencontohkan nasib tragis warga biasa yang mencoba memperjuangkan haknya melawan korporasi raksasa atau kebijakan pemerintah. Alih-alih mendapat perlindungan, mereka justru sering kali dicap sebagai pengganggu ketertiban umum dan bahkan menghadapi ancaman serius berupa kriminalisasi.

Untuk memutus lingkaran setan ini, Yusril mendesak adanya agenda reformasi yang fundamental. Hukum, tegasnya, harus dikembalikan pada fungsinya sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan, bukan sebaliknya.

"Agenda reformasi harus menempatkan hukum sebagai instrumen untuk mengurangi ketimpangan melalui kebijakan hukum yang memperkuat redistribusi dan melindungi hak ekonomi kelompok masyarakat yang terpinggirkan," ujarnya sebagaimana dilansir Antara.

Solusi konkret yang ditawarkan adalah dengan memperluas akses bantuan hukum pro bono secara masif. Dengan begitu, keadilan tidak lagi menjadi barang mewah yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berduit.

"Bantuan hukum pro bono dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu harus diperluas, agar prinsip keadilan tidak hanya menjadi cita-cita moral, tetapi juga kenyataan yang dapat dirasakan," tegas Yusril.

Baca Juga: Ditantang Gentleman, Begini Balasan Menko Yusril soal Surat Delpedro Marhaen di Penjara

Sementara itu, Rektor Universitas Andalas, Efa Yonnedi, menyambut baik diskusi ini. Ia menyatakan tema "Legal Reform and Equitable Law Enforcement in Indonesia" sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana hukum terus-menerus ditantang oleh perubahan zaman.

"Kita hidup di era di mana hukum dituntut untuk terus beradaptasi dengan perubahan sosial, politik, ekonomi dan teknologi yang begitu cepat," katanya.

Load More