News / Metropolitan
Selasa, 04 November 2025 | 18:37 WIB
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menumpang bus Transjakarta saat berkantor. (ist)
Baca 10 detik
  • Wacana kenaikan tarif Transjakarta 2026 muncul akibat pemotongan subsidi transportasi dari APBD.

  • Pemotongan subsidi terpaksa dilakukan karena dana transfer dari pemerintah pusat untuk DKI berkurang.

  • Tarif Rp3.500 hanya menutupi 14% dari biaya operasional asli sebesar Rp13.000 per penumpang.

Suara.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewacanakan kenaikan tarif layanan Transjakarta pada tahun 2026. Rencana ini muncul sebagai imbas dari kebijakan pengurangan subsidi transportasi atau public service obligation (PSO) yang disebabkan oleh pemangkasan dana transfer dari pemerintah pusat.

Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, M. Taufik Zoelkifli, mengungkapkan bahwa pemotongan subsidi terpaksa dilakukan karena berkurangnya dana bagi hasil (DBH) yang diterima Jakarta. Akibatnya, anggaran PSO untuk tiga moda transportasi utama, yaitu Transjakarta, MRT, dan LRT, harus disesuaikan.

“Komisi B, yang bermitra dengan dinas transportasi, akhirnya memang memotong anggaran subsidi untuk transportasi umum,” kata Taufik di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Meski begitu, Taufik menegaskan bahwa keputusan kenaikan tarif Transjakarta belum final. Pihaknya masih menunggu hasil kajian lengkap dari Pemprov DKI mengenai kemampuan dan kemauan bayar masyarakat jika tarif baru diberlakukan.

“Ada pengurangan subsidi, tetapi tarif Transjakarta belum naik. Mungkin tahun depan kita tunggu saat yang tepat dari gubernur. Kalau kajiannya sudah lengkap, baru kita naikkan,” jelasnya.

Menurut Taufik, dana hasil pemotongan subsidi transportasi akan dialihkan ke sektor lain yang dianggap lebih mendesak, seperti program ketahanan pangan dan pemberdayaan UMKM.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, memaparkan besarnya subsidi yang selama ini ditanggung APBD. Saat ini, penumpang hanya membayar tarif Rp3.500, padahal nilai keekonomian per perjalanan mencapai Rp13.000.

“Artinya, ada subsidi sebesar Rp9.700 per penumpang,” kata Syafrin.

Ia menjelaskan, pendapatan dari penjualan tiket hanya mampu menutupi sekitar 14 persen dari total biaya operasional. Kondisi ini menekan kapasitas fiskal daerah, terutama setelah adanya pemotongan DBH dari pemerintah pusat.

Baca Juga: Legal Standing Dipertanyakan Hakim MK, Pemohon Uji UU TNI Singgung Kasus Almas

Load More