News / Nasional
Jum'at, 19 Desember 2025 | 21:53 WIB
Ilustrasi Prabowo tanam sawit di Papua. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Presiden Prabowo Subianto menyatakan target swasembada pangan dan energi di Papua dalam lima tahun melalui bioenergi.
  • Rencana tersebut melibatkan budidaya sawit, tebu, dan singkong untuk menghasilkan BBM serta etanol guna penghematan impor.
  • Aktivis lingkungan mengkhawatirkan rencana ini akan memicu krisis ekologis dan perampasan wilayah adat di Papua.

Suara.com - Di Istana Negara, di hadapan para kepala daerah se-Papua, Presiden Prabowo Subianto membentangkan sebuah visi besar. Di atas peta Bumi Cendrawasih, ia membayangkan Papua yang mandiri, tak lagi bergantung pada pasokan energi dari luar, berdiri di atas kekuatan sumber dayanya sendiri.

"Jalan trans Papua juga harus kita tuntaskan. Selain swasembada pangan juga swasembada energi," ujar Prabowo dengan nada optimistis, Selasa (16/12/2025).

Visi itu tak berhenti pada infrastruktur. Presiden lalu merinci tiga komoditas yang dianggap kunci menuju kemandirian energi Papua. 

"Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol," lanjutnya.

Janji yang menyertai rencana tersebut terdengar menggiurkan. Penghematan impor bahan bakar minyak (BBM) hingga ratusan triliun rupiah, yang disebut-sebut bisa dialihkan langsung untuk pembangunan daerah. 

Namun, di luar ruang rapat Istana, kenyataan lain tengah terjadi. Di Sumatra, warga masih membersihkan lumpur sisa banjir bandang—bencana yang tak jarang dikaitkan dengan alih fungsi hutan besar-besaran.

Di titik inilah, rencana energi Presiden Prabowo untuk Papua memantik tanda tanya besar. Antara janji swasembada dan bayang-bayang krisis ekologis, Papua kini berdiri di persimpangan krusial.

Janji Swasembada: Target Lima Tahun Papua Mandiri Energi

Di atas kertas, agenda ini tampak sebagai terobosan strategis. Pemerintah menargetkan Papua mencapai swasembada pangan dan energi dalam lima tahun. 

Baca Juga: Laporan CPI: Transisi Energi Berpotensi Tingkatkan Pendapatan Nelayan di Maluku

Pendekatannya berlapis: pemanfaatan tenaga surya dan hidro mini di wilayah terpencil, hingga pengembangan bioenergi berbasis komoditas perkebunan.

Secara ekonomi, hitung-hitungan itu tampak masuk akal. Produksi BBM dari kelapa sawit serta etanol dari tebu dan singkong diyakini mampu memangkas impor energi secara signifikan. 

"Menteri ESDM, berapa impor kita BBM dari luar? 520 triliun," tanya Prabowo dalam forum tersebut. 

Ia lalu menambahkan, "Bayangkan kalau kita bisa potong setengah, berarti ada 250 triliun. Tiap kabupaten bisa punya kemungkinan bisa punya satu triliun.

Targetnya pun dibuat konkret. 

"Mulai tahun depan, kita tidak akan impor solar lagi dari luar negeri," katanya. 

Namun, di balik kalkulasi fiskal itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: dari mana lahan untuk mewujudkan ambisi tersebut akan diambil?

Alarm dari Hutan Terakhir: Bayang-Bayang Krisis Ekologis

Kekhawatiran itulah yang disuarakan keras oleh pegiat lingkungan dan sejumlah anggota DPR. Mereka mengingatkan bahwa Papua adalah benteng terakhir hutan primer Indonesia, dan sejarah mencatat, ekspansi sawit dan perkebunan skala besar kerap meninggalkan jejak bencana.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mencatat Papua telah kehilangan 688 ribu hektare hutan primer. Dari angka itu, 552 ribu hektare lenyap hanya dalam kurun 2022–2023. 

"Jika rencana ekspansi sawit, tebu dan lainnya tetap dijalankan, sama artinya pengurus negara akan mengulang bencana ekologis Sumatera di Papua," tegas Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Uli Arta Siagian kepada Suara.com. 

Peringatan serupa datang dari parlemen. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, meminta agar ambisi ini dijalankan dengan kehati-hatian.

"Hutan harus bisa kita manfaatkan, tetapi juga harus dipastikan tidak menjadi sumber malapetaka," ujarnya.

Nada lebih keras disampaikan anggota Komisi IV lainnya, Daniel Johan. Ia menegaskan, pembukaan hutan baru di kawasan pegunungan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Papua berpotensi memicu bencana hidrometeorologi berskala masif.

"Pengalaman pahit di berbagai daerah—di mana alih fungsi hutan untuk sawit dan pertambangan telah memicu banjir, banjir bandang, dan krisis ekologis—harus menjadi pelajaran serius," katanya. 

Infografis perkebunan sawit di Papua. (Suara.com/Aldie)

Suara dari Tanah Adat: Ketika Pembangunan Berujung Perampasan

Di balik statistik deforestasi, terdapat dampak kemanusiaan yang tak kalah serius. WALHI menilai pola pembangunan berbasis ekspansi lahan kerap berujung pada perampasan wilayah adat.

"Selama ini rakyat Papua juga telah mengalami perampasan wilayah adat akibat izin-izin yang diterbitkan pengurus negara," ujar Uli. 

Ia mencontohkan proyek lumbung pangan di Merauke, yang menurutnya menjadi bukti nyata dampak pembangunan skala besar. Proyek tersebut, kata dia, telah memicu "hilangnya sumber pangan lokal, banjir, kekerasan bahkan kriminalisasi."

Kritik dan Jalan Tengah yang Diusulkan

Para pengkritik menilai masalah utama terletak pada tata kelola sumber daya alam. Pemerintah dianggap belum menunjukkan kemauan politik untuk mengevaluasi izin-izin bermasalah dan menegakkan hukum lingkungan. 

Sebaliknya, pola ekspansi justru terus didorong, meski dampaknya telah berulang kali terlihat.

Sebagai alternatif, Daniel mendorong pemerintah memilih jalur intensifikasi, bukan ekstensifikasi. 

"Maksimalkan produksi di lahan yang sudah ada," ujarnya. 

Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki sekitar 16 juta hektare kebun sawit eksisting, termasuk lahan-lahan bermasalah yang masih bisa direvitalisasi.

"Tidak boleh ada pembukaan hutan baru untuk lahan sawit," tegasnya.

Swasembada Energi atau Hak atas Energi?

Pada akhirnya, perdebatan ini bukan sekadar soal angka produksi atau efisiensi anggaran. Ini adalah benturan dua paradigma. 

Pemerintah berbicara tentang swasembada energi, diukur dari volume dan penghematan impor. Sementara WALHI mendorong gagasan kedaulatan energetika yang menempatkan energi sebagai hak dasar warga negara.

"Energetika harus diletakkan dalam kerangka hak, sebab akses terhadap energi yang mendasari keberlanjutan dan martabat hidup manusia," jelas Uli. 

Energi, menurutnya, bukan semata komoditas ekonomi, melainkan fondasi bagi pemenuhan hak atas pangan, hunian layak, kesehatan, dan pendidikan.

Rencana besar Presiden Prabowo untuk Papua kini berada di titik kritis. Janji kemandirian energi dan penghematan triliunan rupiah memang menggoda.

Namun, risiko kerusakan ekologis permanen dan pengabaian hak masyarakat adat membayangi setiap langkahnya. Keputusan yang diambil hari ini bukan hanya akan menentukan arah kebijakan energi nasional, tetapi juga masa depan hutan terakhir dan manusia yang hidup di Bumi Cendrawasih.

Load More