- Satu bulan pasca-banjir di Aceh Tamiang, warga seperti Tety Dian Hayati kesulitan memulihkan toko akibat lumpur tebal dan minimnya bantuan.
- Kebutuhan mendesak warga meliputi pasokan air bersih dan listrik stabil, mendorong sebagian keluarga memilih mengungsi sementara.
- Penurunan signifikan bantuan pangan rutin memaksa warga bertahan dengan keterbatasan, ditambah adanya beban iuran pembersihan di beberapa lokasi.
Suara.com - Hampir satu bulan berlalu sejak banjir bandang menerjang wilayah Sumatra, namun luka yang ditinggalkan masih terasa nyata di Aceh Tamiang. Lumpur belum sepenuhnya mengering, bantuan kian menipis, dan kehidupan warga masih jauh dari kata pulih.
Di Kuala Simpang, Tety Dian Hayati menjalani hari-hari yang berat bersama keluarganya. Dua toko perabot yang menjadi sumber penghidupan kini berubah menjadi ruang penuh lumpur cokelat pekat.
Bersama warga lain, Tety terlibat dalam gotong royong membersihkan sisa banjir, mengangkat lumpur dengan alat seadanya, demi satu harapan sederhana, bisa kembali berdagang.
Lumpur menutupi lantai, dinding, bahkan perabot yang tersisa. Mesin air rusak, listrik tak stabil, dan air bersih masih menjadi barang langka.
"Kami keluarin barang-barang di toko dan kami di sini mau bersihin toko harus bayar orang. Nggak ada yang bantu, kita harus bayar jasa bersihin lumpur toko," jelasnya.
Air Bersih dan Listrik, Kebutuhan yang Mendesak
Di banyak titik pemukiman, genset dan mesin air menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa itu, warga kesulitan membersihkan rumah, apalagi memenuhi kebutuhan harian.
Tandon air sangat dibutuhkan untuk menampung air bersih yang jumlahnya terbatas, karena hingga kini banyak warga masih kesulitan mendapatkan air layak pakai.
Tak sedikit keluarga yang akhirnya memilih mengungsi. Tety dan keluarganya kini tinggal sementara di Desa Paya Bedi.
Baca Juga: Mendagri Tito Tinjau Aceh Tamiang dan Salurkan Bantuan bagi Korban Banjir Longsor
Setiap pagi, ia harus menempuh jarak sekitar 4 kilometer dengan berjalan kaki menuju tokonya di Kuala Simpang. Pulang-pergi mereka lakukan demi menjaga sisa usaha yang masih bisa diselamatkan.
Pemandangan memilukan terjadi di depan toko. Anak-anak berebut nasi bantuan, bukan karena lapar sesaat, tapi karena pasokan makanan tak lagi rutin.
Jika di awal bencana bantuan berupa beras, air mineral, mi instan, dan roti masih mengalir, kini kata Tety kondisinya berbeda.
“Sudah tiga hari ini hampir tak ada yang bagi beras atau air,” kata Tety.
Bantuan yang datang lebih banyak berupa nasi kotak, itupun dari mobil-mobil pribadi dan para relawan yang melintas. Di pengungsian yang letaknya di desa, bantuan mulai jarang.
"Sedih banget liat kondisi orang-orang disini. Memang udah kayak di Gaza. Liat anak-anak di pinggir jalan dengan penuh lumpur, nunggu bantuan makanan," ucapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- 5 Mobil Sedan Bekas yang Jarang Rewel untuk Orang Tua
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman Skechers Buat Jalan-Jalan, Cocok Buat Traveling dan Harian
- 6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat
Pilihan
Terkini
-
Sikap PKB Usai Kiai Ma'ruf Amin Pilih Jalan Uzlah
-
Dari Masa ke Masa UMP DKI Jakarta Dalam 9 Tahun Terakhir
-
Rencana Nominal Kenaikan Jadup Korban Bencana Masih Tunggu Arahan Presiden
-
Punya Kafe di Bandung hingga Korsel Tapi Tak Masuk LHKPN, Ridwan Kamil Bakal Diperiksa KPK Lagi
-
Jampidsus Tegaskan Ada Keterlibatan Riza Chalid Dalam Dugaan Kasus Korupsi Petral
-
Buntut Kasus Perundungan Disabilitas, Anggota Komisi X Desak Bahasa Isyarat Masuk Kurikulum Nasional
-
SBY: Penanganan Bencana Tidak Segampang yang Dibayangkan, Perlu Master Plan yang Utuh
-
Ketuk Hati Kepala Daerah, Mendagri Tito: Bantu Saudara Kita di Sumatera yang Kena Bencana
-
Buntut OTT KPK di Berbagai Daerah, Jaksa Agung Minta Jaksa Jangan Melanggar Hukum!
-
Tak Terendus Kamera dan Influencer, Prabowo Bongkar Perlawanan 'Gila' Preman di Hutan