Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) memandang perlu pemerintah memperketat aturan pembelian nomor telepon seluler (ponsel) guna mempersempit ruang gerak para pemain layanan konten berita bohong (hoax).
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikas (CISSReC) Pratama Persadha mengemukakan hal itu melalui surat elektroniknya di Semarang, Sabtu pagi (26/8/2017), ketika merespons penangkapan penyebar hoaks, Saracen cyber army.
Menurut Pratama, tren hoaks sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan, pada Pemilu Presiden Amerika Serikat 201, masyarakat AS dihantam berbertubi-tubi berita bohong.
"Media penyampaian hoaks di seluruh dunia hampir sama, lewat media sosial dan 'instant messaging' (pesan instan)," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Di Indonesia, misalnya, setiap orang bisa dengan bebas membeli nomor baru, padahal nomor ponsel adalah syarat untuk membuat surat elektronik (email) dan media sosial, termasuk "instant messaging", seperti WhatsApp dan Telegram.
Sementara itu, di banyak negara aturan pembelian nomor baru ini disertai identitas, tidak hanya registrasi yang asal-asalan.
Pembelian nomor ponsel, menurut Pratama, harus diikuti dengan infomasi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik, kemudian ada batas yang jelas untuk pembelian sehingga setiap nomor aktif yang teregistrasi dengan KTP elektronik. Hal ini akan mempersulit para pelaku untuk melakukan "ternak akun".
"Tanpa keleluasaan untuk ternak akun, jelas akan mempersulit para pemain layanan konten hoaks untuk bergerak," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.
Baca Juga: Golkar Sebut Saracen Pintu Masuk Ungkap Penyebar "Hoax" Lainnya
Di lain pihak, pemerintah juga bisa dengan tegas kepada penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter konten. Hal yang sama sudah dilakukan Telegram sebagai syarat membuka blokir di Indonesia.
Bila masih banyak konten hoaks bermunculan di sebuah media sosial, menurut dia, ada baiknya pemerintah memberikan peringatan agar konten negatif tersebut bisa berangsur berkurang dan hilang. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Terkini
-
Redmi Pad 2 Pro: Bocoran Spesifikasi Gahar, Baterai 12.000 mAh, Siap Meluncur Minggu Depan?
-
Tencent Tuduh Sony Memonopoli Game usai Digugat, Sebut Horizon Tidak Orisinal
-
Telkomsel Pertajam Kepiawaian Generasi Muda Manfaatkan Teknologi AI lewat IndonesiaNEXT Summit 2025
-
55 Kode Redeem FF Terbaru 19 September 2025: Ada Skin Scar, XM8, dan Diamond
-
GoTo Kantongi Rp 4,65 Triliun Siap Ekspansi dan Dorong Pertumbuhan Ekosistem Digital
-
Peluncuran iPhone 17 Picu Penipuan Online di Seluruh Dunia
-
15 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 19 September: Ribuan Gems dan Pemain 111 Menanti
-
AMD Ryzen AI 300 Series Otaki Laptop AI Tercanggih Hadir di Lenovo Yoga Pro dan IdeaPad!
-
EA FC 26 Sudah Bisa Dimainkan: Daftar Ikon Terungkap, Gameplay Tuai Pujian
-
Render Vivo V60 Lite 4G Beredar: Desain Mirip iPhone 17, Harga Lebih Murah