Suara.com - Akhir Januari lalu, saat kasus positif Covid-19 belum dinyatakan terdeteksi di Indonesia sementara kasus infeksi pertama telah diumumkan di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan tips berpikir positif untuk menghindari terkena infeksi coronavirus.
Kini, saat bencana penyakit ini memasuki bulan kedua setelah kasus pertama diumumkan, beberapa pakar kesehatan mental juga menganjurkan masyarakat agar berpikir positif sebagai strategi mengatasi masalah kesehatan mental di tengah ketidakpastian dan kecemasan yang tinggi akibat pandemi Covid-19.
Para penganjur itu bahkan mengklaim bahwa pikiran positif akan meningkatkan daya tahan tubuh sampai menangkal virus.
Dari kaca mata psikologi dan sejumlah riset, anjuran ini kurang spesifik, tidak sepenuhnya benar, dan bahkan membahayakan nyawa banyak orang, khususnya dalam situasi pandemi yang kesuksesan intervensinya sangat bergantung pada perubahan perilaku manusia secara massal, bersamaan, dan terkoordinasi.
Optimisme yang tidak realistis
Meskipun sudah ada penurunan aktivitas, berbagai laporan menyebutkan masih banyak warga yang belum sepenuhnya mengikuti anjuran menjaga jarak fisik antarorang, 1-2 meter di luar rumah, sebagai upaya memutus rantai penularan penyakit infeksi coronavirus.
Di Jakarta, misalnya, meskipun sudah ada penurunan jumlah penumpang kereta komuter (KRL) sampai 70 persen, arus lalu-lintas manusia dari kawasan Jabodetabek ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur meningkat drastis. Para pemudik ini berpotensi menyebarkan virus lebih jauh ke daerah-daerah dan desa-desa yang sistem pelayanan kesehatannya lebih rapuh dibanding Jakarta.
Pola-pola ketidakpatuhan pada anjuran ahli kesehatan juga banyak ditemui di daerah lain.
Anjuran berpikir positif dengan harapan agar meningkatkan sistem kekebalan tubuh justru berisiko menimbulkan bias optimisme yang berperan besar memunculkan ketidakpatuhan ini.
Baca Juga: Artis Malaysia Kecam Emak-emak Main Tiktok, Sebut Nggak Tahu Malu
Bias optimisme mewujud dalam tiga bentuk, yaitu:
- Ilusi kontrol, yaitu keyakinan berlebihan dapat mengendalikan situasi eksternal
- Ilusi superioritas, yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki kelebihan daripada orang kebanyakan,
- Ilusi kemungkinan, yaitu ketika seseorang merasa kecil kemungkinannya dirinya akan mengalami hal negatif–dalam konteks ini yaitu, tertular atau menularkan penyakit.
Bias yang sama akan sangat berbahaya jika dialami oleh pengambil kebijakan, karena akan makin membuat rumit kondisi–bukan hanya di birokrasi pemerintah dan layanan fasilitas kesehatan tapi juga di masyarakat.
Bayangkan seorang presiden, para politikus di sekitar presiden, dan menteri kesehatan dari satu negara mengidap bias optimisme saat menghadapi pandemi. Padahal, mereka pengambil keputusan besar dan penting yang akan mempengaruhi hidup dan matinya puluhan hingga ratusan juta warga negara yang terserang wabah penyakit menular yang ganas seperti COVID-19.
Kementerian Kesehatan, misalnya, dikritik gagap, lamban, dan tidak transparan dalam menangani pandemi coronavirus karena ditengarai terlalu percaya diri setelah Indonesia berhasil mengendalikan wabah flu burung (H5N1) sejak 2003, SARS pada 2003, dan MERS pada 2012. Namun yang tak banyak diketahui, dalam kasus flu burung, korban meninggal terbanyak justru ditemui di Indonesia.
Bias optimisme ini mungkin juga membuat para pengambil kebijakan cenderung mengabaikan peringatan dari para ilmuwan.
Faktanya, sesuai dengan peringatan para ahli, virus SARS-CoV-19 menyebar sangat cepat dan mengikuti pola pertumbuhan eksponensial, meskipun sebenarnya dapat dicegah kemungkinan terburuknya jika diintervensi sejak dini.
Berita Terkait
-
Anggaran Daerah Dipotong, Menteri Tito Minta Pemda Tiru Jurus Sukses Sultan HB X di Era Covid
-
Korupsi Wastafel, Anggota DPRK Aceh Besar jadi Tersangka usai Polisi Dapat 'Restu' Muzakir Manaf
-
Indonesia Nomor 2 Dunia Kasus TBC, Menko PMK Minta Daerah Bertindak Seperti Pandemi!
-
Korupsi Wastafel Rp43,59 Miliar saat Pagebluk Covid-19, SMY Ditahan Polisi
-
Katanya Ekonomi Tumbuh 5,12 Persen, Kok BI Pakai Skema saat Covid-19 demi Biayai Program Pemerintah?
Terpopuler
- 7 Serum Vitamin C yang Bisa Hilangkan Flek Hitam, Cocok untuk Usia 40 Tahun
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- 5 Mobil Diesel Bekas Mulai 50 Jutaan Selain Isuzu Panther, Keren dan Tangguh!
- Harta Kekayaan Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Ikut Ditangkap KPK
- 5 Mobil Eropa Bekas Mulai 50 Jutaan, Warisan Mewah dan Berkelas
Pilihan
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
-
Angka Pengangguran Indonesia Tembus 7,46 Juta, Cuma Turun 4.000 Orang Setahun!
Terkini
-
Spesifikasi dan Harga Vivo Y21d Indonesia: HP Murah Bersertifikasi Militer, Baterai Jumbo
-
51 Kode Redeem FF Terbaru Aktif November 2025: Klaim Skin Burning Lily dan Mythos Fist
-
Moto Pad 60 Neo Resmi ke Indonesia, Tablet Murah Motorola Harga Rp 2 Jutaan
-
Trik Pindahkan Microsoft Office Tanpa Ribet: Simak Langkah Mudah Berikut
-
iQOO Z10R vs realme 15T: Duel Panas HP 3 Jutaan, Mana Punya Kamera Paling Oke?
-
7 Rekomendasi HP 3 Jutaan untuk Gaming, Cocok untuk Anak Sekolah hingga Dewasa Muda
-
21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 5 November: Klaim Pemain 111-113 dan Belasan Ribu Gems
-
Moto G67 Power Rilis: HP Murah dengan Kamera Sony dan Baterai 7.000 mAh
-
5 Pilihan HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaik untuk Multitasking dan Gaming
-
YouTube Hipnotis Masyarakat! Waktu Nonton Melonjak 20%, Siapa Sangka Ini Alasannya