Ekspektasi awam mengenai risiko tertular atau menularkan sangat mungkin tidak realistis, utamanya pada individu dengan literasi numerik yang kurang memadai karena kesulitan memahami logika eksponensial.
Anjuran “berpikir positif” itu kontradiktif dalam konteks mengendalikan pandemi karena memberikan rasa aman yang palsu, lebih-lebih ketika “berpikir positif” menjadi pesan utama anjuran di ruang publik.
Bertindak rasional
Anggapan bahwa berpikir positif dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Riset yang dilakukan di Amerika Serikat dalam setting observasi natural dan percobaan di laboratorium menunjukkan bukti bahwa hubungan positif antara berpikir positif dengan kekebalan tubuh tergantung karakteristik sumber stres yang dihadapi. Ketika menghadapi ancaman yang ringan (langsung, singkat, dan mudah dikontrol), optimisme memang memberikan efek positif pada kekebalan seluler.
Namun bila yang dihadapi adalah ancaman yang lebih serius (kompleks, persisten, dan tak bisa dikontrol) maka yang terjadi justru sebaliknya.
Mengapa ini bisa terjadi? Dalam situasi sulit, optimisme justru menurunkan motivasi untuk mengambil tindakan mengakhiri atau menghindari sumber stres. Akibatnya, kemampuan sistem kekebalan tubuh justru malah menurun, bukan meningkat.
Hasil riset awal dari penelitian yang belum ditinjau sejawat menunjukkan bahwa responden yang merasa dirinya sangat mungkin tertular atau menularkan Covid-19 menunjukkan kecenderungan yang lebih besar dalam melakukan tindakan pencegahan, seperti mencuci tangan lebih sering dan menjaga jarak fisik dengan orang lain. Riset yang terbit akhir Maret lalu dilakukan di Amerika Serikat, melibatkan 1591 responden, dan dilakukan oleh peneliti California Institute of Technology dan University College London.
Meskipun sebagian besar responden menerka risiko mereka tertular Covid-19 cenderung menengah (rata-rata 43,56 dari rentang skor 0-100), namun terlihat ada perbedaan yang jelas ketika responden diminta menerka risiko umumnya orang Amerika Serikat tertular COVID-19. Secara umum, partisipan mengira risiko mereka tertular lebih rendah daripada orang Amerika Serikat pada umumnya, menunjukkan indikasi terjadinya bias optimisme.
Baca Juga: Artis Malaysia Kecam Emak-emak Main Tiktok, Sebut Nggak Tahu Malu
Stop anjuran berpikiran positif
Riset-riset perilaku pada kasus epidemi sebelumnya, misalnya wabah flu babi (H1N1) di Italia dan Belanda, serta flu burung (H5N1) di Inggris, menyediakan bukti bahwa responden dengan persepsi risiko yang lebih tinggi akan lebih patuh pada anjuran ahli untuk melakukan tindakan pencegahan.
Yang paling menarik, sebuah riset pemodelan matematika pada 2012 dengan pendekatan game theory dalam memperkirakan efek respons manusia pada masa awal wabah influenza, menyebutkan bahwa ketika pada awal wabah masyarakat menerka risiko transmisi lebih besar daripada yang sesungguhnya justru malah berguna dalam melambatkan laju penularan. Perkiraan yang lebih buruk mengenai risiko tertular dan menularkan, sangat cepat dalam mendorong perubahan perilaku, utamanya dalam menurunkan frekuensi kontak sosial.
Singkatnya, merasa cemas dan terancam ketika pandemi adalah sesuatu yang normal, realistis, rasional, dan akan berpotensi menyelamatkan banyak nyawa.
Oleh karena itu, anjuran yang mempererat solidaritas sosial, kepatuhan pada anjuran ahli, dan peningkatan kewaspadaan lebih relevan daripada “berpikir positif” dan harus menjadi pesan utama yang ditonjolkan dalam imbauan kepada masyarakat.
Kejelasan aturan dan konsistensi kebijakan juga sangat besar dampaknya dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah sehingga respons terhadap wabah akan terkoordinasi dengan baik.
Berita Terkait
-
Ariana Grande Idap Salah Satu Virus Mematikan, Mendadak Batal Hadiri Acara
-
Kasus TBC di Jakarta Capai 49 Ribu, Wamenkes: Kematian Akibat TBC Lebih Tinggi dari Covid-19
-
Anggaran Daerah Dipotong, Menteri Tito Minta Pemda Tiru Jurus Sukses Sultan HB X di Era Covid
-
Korupsi Wastafel, Anggota DPRK Aceh Besar jadi Tersangka usai Polisi Dapat 'Restu' Muzakir Manaf
-
Indonesia Nomor 2 Dunia Kasus TBC, Menko PMK Minta Daerah Bertindak Seperti Pandemi!
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
32 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Desember: Klaim Henry, Fabregas 114, dan Gems
-
Tiruan Game Horizon Ditarik dari Steam: Babak Akhir Pertarungan Sony vs Tencent?
-
60 Kode Redeem FF Aktif 21 Desember 2025: Garena Bagi Diamond Gratis dan Bundle Spesial
-
Bocoran Harga Redmi Note 15 5G di Pasar Asia Beredar, Diprediksi Lebih Mahal
-
HP Murah HMD Vibe 2 Siap Debut: Desain Mirip iPhone, Harga Diprediksi Sejutaan
-
Xiaomi Home Screen 11 Muncul di Toko Online, Pusat Kontrol Lebih Premium
-
Honor Win Segera Rilis: Usung Baterai 10.000 mAh, Skor AnTuTu 4,4 Juta Poin
-
10 Prompt Gemini AI Edit Foto Bersama Ibu, Siap Pakai untuk Rayakan Hari Ibu Besok
-
5 Smartwatch GPS dengan Baterai Tahan Lama, Aman Dipakai setiap Hari
-
6 HP Snapdragon 256 GB Termurah Mulai Rp2 Jutaan, Cocok untuk Gaming Ringan