Tekno / Tekno
Kamis, 24 Juli 2025 | 22:23 WIB
Ilustrasi Data Pribadi warga RI ditransfer ke AS

Suara.com - Di tengah euforia kesepakatan dagang baru dengan Amerika Serikat, terungkap sebuah klausul yang memicu perdebatan sengit: transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke negeri Paman Sam.

Pemerintah meyakinkan ini adalah langkah menuju ekonomi digital yang lebih terukur dan aman.

Namun, bagi banyak pihak, ini adalah lonceng bahaya yang mengancam kedaulatan digital, keamanan nasional, dan privasi jutaan rakyat Indonesia.

Isu ini bukan sekadar persoalan teknis pemindahan data dari satu server ke server lain.

Ini adalah pertaruhan besar atas aset paling berharga di era digital.

Ada istilah 'Data is the new oil', dan kini, 'minyak' milik 280 juta penduduk Indonesia berpotensi dialirkan ke luar negeri tanpa kendali penuh. 

Di balik janji manis efisiensi dan perdagangan, ada risiko nyata yang mengintai. 

Tanpa kerangka kerja yang kuat dan perlindungan timbal balik yang mengikat, data penting yang mengalir ke luar negeri bisa menjadi sasaran empuk penyadapan, manipulasi, atau eksploitasi oleh aktor negara maupun non-negara. 

Kedaulatan Digital yang Terkikis dan Risiko Keamanan Nasional

Salah satu kekhawatiran terbesar adalah terkikisnya kedaulatan digital bangsa.

Baca Juga: Tarif Impor vs Kedaulatan Data: SAFEnet Peringatkan Bahaya Serius di Balik Perjanjian Dagang RI-AS

Pratama Persadha, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, secara tegas menyatakan bahwa kesepakatan ini berpotensi membuat Indonesia melepaskan sebagian kontrol atas data yang krusial bagi keamanan nasional. 

“Dengan membuka kemungkinan aliran data pribadi ke luar negeri tanpa mekanisme yang ketat dan transparan, Indonesia berpotensi melepaskan sebagian kontrol atas data yang sangat penting bagi keamanan nasional dan pembangunan ekonomi digital jangka panjang,” ujar Pratama.

Data yang ditransfer tidak hanya sebatas nama atau alamat email.

Data ini mencakup jejak digital, preferensi belanja, lokasi, hingga data biometrik.

Jika data sensitif seperti nama, NIK, NPWP, dan nama ibu kandung jatuh ke tangan yang salah, profil seseorang bisa dibentuk secara mendetail dan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

“Data tersebut bisa diakses oleh entitas asing, termasuk badan intelijen atau perusahaan teknologi besar, tanpa pengawasan penuh dari otoritas Indonesia,” ungkap Pratama.

Risiko ini diperparah dengan potensi spionase siber dan campur tangan asing dalam urusan domestik, sebuah ancaman yang sangat nyata dalam lanskap geopolitik saat ini.

Standar Ganda Perlindungan Hukum dan Ancaman Ekonomi

Kritik tajam juga menyoroti perbedaan standar perlindungan data antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Uni Eropa memiliki General Data Protection Regulation (GDPR) yang ketat dan komprehensif. 

Indonesia pun telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). 

Sebaliknya, Amerika Serikat hingga kini belum memiliki undang-undang perlindungan data setingkat federal yang sepadan. 

Perlindungan data di AS cenderung bersifat sektoral, memberikan ruang bagi perusahaan teknologi raksasa untuk melakukan self-regulation. 

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menjamin keamanan data yang dibagikan ke AS karena ketiadaan payung hukum federal tersebut. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah AS dapat dianggap sebagai negara dengan tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi, sebagaimana disyaratkan Pasal 56 UU PDP? 

Dari sisi ekonomi, ketergantungan pada penyedia layanan teknologi asing juga menjadi ancaman.

Kesepakatan ini berisiko memperkuat dominasi raksasa teknologi AS seperti Google, Meta, dan Amazon, sementara perusahaan rintisan dan penyedia layanan *cloud* lokal semakin terdesak. 

Indonesia bisa terjebak dalam posisi sebagai pemasok bahan mentah digital, sementara nilai tambah ekonomi sepenuhnya dinikmati oleh korporasi asing.

Masa Depan Privasi di Tangan Siapa?

Skandal seperti Cambridge Analytica menjadi pengingat pahit bagaimana data pribadi dapat dimanipulasi untuk merekayasa opini publik.

Dengan memindahkan data ke yurisdiksi lain yang standar perlindungannya lebih lemah, risiko penyalahgunaan serupa menjadi semakin besar.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bahkan khawatir rakyat Indonesia dapat diawasi secara massal oleh Amerika Serikat.

“Ancaman pemantauan massal (mass surveillance) oleh Amerika Serikat terhadap warga Indonesia,” tulis ELSAM dalam siaran persnya.

Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing (FISA) di AS memberikan kewenangan kepada pemerintahnya untuk mengakses komunikasi pihak asing di luar yurisdiksi mereka.

Insiden kebocoran data yang kerap terjadi, termasuk yang menimpa Pusat Data Nasional Sementara (PDNS), telah menggerus kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam melindungi data warganya.

Kini, pembentukan lembaga pengawas perlindungan data pribadi yang independen sesuai amanat UU PDP menjadi semakin krusial untuk memastikan adanya pengawasan yang efektif. [7, 14]

Meskipun pemerintah berjanji akan menyusun protokol keamanan khusus, pertanyaan mendasar tetap menggantung.

Apakah protokol tersebut cukup kuat untuk melindungi data warga dari pengawasan massal dan eksploitasi komersial tanpa batas?

Tanpa transparansi penuh dan jaminan perlindungan yang setara, kesepakatan transfer data ini bisa menjadi langkah mundur yang mengorbankan privasi dan keamanan jutaan rakyat Indonesia di altar kepentingan ekonomi sesaat.

Load More