Suara.com - Pengamat Kebijakan Energi-IRESS, Marwan Batubara menyatakan peluncuran BBM pertalite salah satu cara PT Pertamina untuk menekan dan mengurangi kerugian akibat penjualan BBM premium yang harganya masih dikendalikan pemerintah.
"Penjualan BBM pertalite salah satu cara Pertamina untuk mengurangi kerugian akibat terpaksa menjual premium yang harganya masih dikendalikan pemerintah," kata Marwan Batubara saat di hubungi di Jakarta, Minggu, 26 Juli 2015.
Ia menjelaskan penetapan harga BBM pertalite tidak tunduk pada aturan Perpres 191/2014 seperti halnya pertamax, sehingga keuntunganya sudah terukur.
"Apalagi kalau secara teknis, spek pertalite sesuai kebutuhan mesin jarak tempuh lebih jauh sekitar enam persen dan ramah lingkungan, maka produk ini bisa menjadi pilihan yang lebih baik dibanding harus membeli produk pertamax yang lebih mahal," ungkapnya.
Marwan menambahkan seharusnya pemerintah konsisten terapkan formula atau alokasikan dana di APBN untuk subsidi BBM. Tetapi yang terjadi sekarang subsidi sudah tidak ada, karena pemerintah takut dihujat, sehingga harga jual BBM lebih rendah akibatnya BUMN Pertamina yang jadi korban.
"Karena formula sudah tersedia di Perpres, maka setiap ada perubahan harga, buka saja perhitungannya ke publik, supaya tidak terus terjadi kisruh dan hujatan-hujatan yang tidak perlu," ujarnya.
Marwan mendesak agar Pertamina segera dijadikan sebagai "non listed public company" agar pengelolaannya sesuai prinsip-prinsip GCG. Dengan begitu kecurigaan dan praktek-praktek mafia bisa berkurang atau hilang.
Harga BBM sekarang, menurut dia juga sudah tidak sesuai, karena Harga BBM waktu naik pada Januari 2014 ditetapkan pada saat kurs Rp12 ribuan, dengan harga minyak dunia 50-60 dolar AS/barel. "Sekarang harga minyak dunia memang turun disekitar 49 dolar AS/barel, tetapi kurs naik ke Rp13.400 /1 dolar AS. Jadi kalau konsisten dengan Perpres No. 191/2014 harga BBM memang terpaksa harus naik," ujarnya.
Kecuali, menurut dia pemerintah mau memberi subsidi di APBN, atau pemerintah perintahkan agar BUMN yang serap kerugian seandainya harga tidak perlu naik, tetapi hal itu akan melanggar UU BUMN.
Sehingga yang terjadi sekarang, pemerintah sebut margin BU 5-10 persen, prakteknya margin atau keuntungan Badan Usaha (BU) kurang dari itu. Sehingga Pertamina malah mengaku rugi dalam 2-3 bulan terakhir akibat pemerintah takut naikkan harga sesuai formula yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah di Perpres, kata Marwan. (Antara)
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
Terkini
-
BRI Peduli Hadir untuk Masyarakat Terdampak Bencana Sumatra, Salurkan Donasi di Lebih 40 Lokasi
-
Purbaya Siapkan Rp 60 T Tangani Banjir Sumatra, Diambil dari Anggaran Program-Rapat Tak Jelas
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
-
SMRA Terbitkan Obligasi 500 Miliar di Tengah Penurunan Laba Bersih
-
Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
-
UMP Jakarta 2026 Naik Berapa Persen? Analisis Lengkap Formula Baru hingga Kejutan Menaker
-
BBRI Gabung BUMI dan DEWA, Jadi Saham Idola Investor Sesi I IHSG Hari Ini
-
GGRP Resmi Jadi Emiten Modal Asing, Harga Sahamnya Meroket
-
Harga Pangan Bergerak Turun Hari Ini, Cabai hingga Beras Ikut Melunak