Gas merupakan salah satu infrastruktur energi yang mutlak bagi peningkatan daya saing industri nasional. Untuk itu, Pemerintah bertekad menjaga ketersediaan dan harga gas industri yang kompetitif.
“Paradigma terhadap gas harus diubah, agar bukan hanya sebagai komoditas tetapi menjadi infrastruktur penting dalam industri,” tegas Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Focus Group Discussion yang digagas oleh Forum Wartawan Industri (Forwin)dengan tema Efek Berganda dari Penurunan Harga Gas Industri dan Dampaknya Bagi Perekonomian Nasional di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Menperin menyatakan, penurunan harga gas bagi industri menjadi langkah awal untuk memperolehmultiplier effectyang berpengaruh positif kepada perekonomian nasional. Efek berganda tersebut, diantaranya mendorong pertumbuhan industri, peningkatan serapan tenaga kerja, dan penghematan devisa.
“Bahkan, sektor industri prioritasdapat tumbuh maksimal dan mendukung berkembangnya sektor yang berpotensi sebagai substitusi impor, seperti industri polyethylene dan polypropylene di sektor kimia,” paparnya.
Pada tahun 2015, penggunaan gas bumi untuk sektor industri mencapai 2.280 million metric standard cubic feet per day (MMscfd). Adapun pembagiannya, yakni untuk bahan baku industri pupuk dan petrokimia sebesar 1.086 MMscfd, untuk kontak langsung dengan produk di industri keramik, kaca, dan semen sebanyak 337 MMscfd, serta sebagai energi untuk industri lain sebesar 857 MMscfd.
Menperin mengatakan, idealnya harga gas untuk industri dipatok pada harga 4-5 dolar Amerika Serikat (AS) per million metric british thermal unit (MMBTU). “Namun, kondisinya industri kita membeli gas pada kisaran harga 7-10 dolar AS per MMBTU bahkan ada yang mencapai USD12-14 MMBTU,” ungkapnya.
Menurut Airlangga, harga gas industri di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN, seperti Singapura sekitar USD4-5 per MMBTU, Malaysia hanya 4,47 dolar AS per MMBTU dan Vietnam seebesar 7,5 dolar AS per MMBTU.
“Apabila harga gas di Indonesia berada pada level yang sama dengan negara-negara tetangga, maka kami yakin produk-produk Indonesia akan memiliki daya saing yang makin kuat,” tegas Airlangga. Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian menyambut positif penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang menjadi dasar hukum revisi harga gas ke industri sejak Mei lalu.
“Dengan beleid tersebut, diharapkan harga gas untuk industri yang saat ini di atas 6 dolar AS per MMBTU berpotensi dapat diturunkan,” ujarnya. Namun demikian, Menperin memandang bahwa sektor-sektor yang telah tertuang dalam Perpres 40/2016 masih perlu diperluas.
“Maka,kami mengusulkan adanya revisi dari Perpres ini dengan menambah cakupan sektor industri dari tujuh sektor menjadi 10 sektor serta ditambah industri-industri yang berlokasi di kawasan industri,” paparnya. Penambahan sektor industri tersebut masuk dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan telah dibahas dengan Presiden RI Joko Widodo.
Kesepuluh sektor industri tersebut, yakni Industri Pupuk, Industri Petrokimia, Industri Oleokimia, Industri Baja/Logam Lainnya, Industri Keramik, Industri Kaca, Industri Ban dan Sarung Tangan Karet, Industri Pulp dan Kertas, Industri Makanan dan Minuman, serta Industri Tekstil dan Alas Kaki.
Pemerataan ekonomi
Sementara itu, Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan,harga gas yang kompetitif bagi para industri yang berlokasi di kawasan industri akan mendorong pengembangan wilayahdan menjadi instrumen pemerataan ekonomi.
“Hal ini sesuaiperintah Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia atauease of doing business menjadi di kisaran peringkat 40 dari peringkat 109 saat ini,” tuturnya.Untuk mencapai target tersebut, lanjutnya, salah satu yang harus dilakukan adalah melalui penyediaan listrik dan gas. “Sehingga dalam hal ini,harga gas memiliki peranan penting,” tambahnya.
Berdasarkan kajian kerja sama Kemenperin dengan LPEM Universitas Indonesia, apabila harga gas bumi menjadi 3,8 dolar AS per MMBTU akan menurunkan penerimaan negara sebesar Rp 48,92 triliun, namun akan meningkatkan penerimaan berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp77,85 triliun.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- Ditunjuk Prabowo Reformasi Polri: Sosok Ahmad Dofiri Jenderal Rp7 Miliar Berani Pecat Ferdy Sambo!
- Sosok Kompol Anggraini, Polwan Diduga Jadi 'Badai' di Karier Irjen Krishna Murti, Siapa Dia?
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Profil dan Rekam Jejak Alimin Ribut Sujono, Pernah Vonis Mati Sambo dan Kini Gagal Jadi Hakim Agung
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
4 Rekomendasi HP Murah Rp 2 Jutaan Baterai Besar Minimal 6000 mAh, Terbaik September 2025
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
Ratu Tisha Lengser: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar PSSI?
Terkini
-
Menkeu Purbaya Janji Lindungi Industri Rokok Lokal, Mau Evaluasi Cukai Hingga Berantas Rokok China
-
Naik Kelas Bersama BRI, UMKM Fashion Asal Bandung Ini Tembus Pasar Internasional
-
Apa Itu Co Living? Tren Gaya Hidup Baru Anak Muda
-
Usai Dicopot dari Kepala PCO, Danantara Tunjuk Hasan Nasbi jadi Komisaris Pertamina
-
SPBU Swasta Beli BBM dari Pertamina, Simon: Kami Tak Cari Untung!
-
Jurus SIG Hadapi Persaingan: Integrasi ESG Demi Ciptakan Nilai Tambah Jangka Panjang
-
Menkeu Purbaya Tak Mau Naikkan Tarif Listrik Meski Subsidi Berkurang
-
DPR Usul Ada Tax Amnesty Lagi, Menkeu Purbaya Tolak Mentah-mentah: Insentif Orang Ngibul!
-
Kemenhub 'Gandeng' TRON: Kebut Elektrifikasi Angkutan Umum, Targetkan Udara Bersih dan Bebas Emisi!
-
Harris Arthur Resmi Pimpin IADIH, Siap Lawan Mafia Hukum!