Bisnis / Ekopol
Minggu, 21 Desember 2025 | 13:13 WIB
Ilustrasi Kawasan Tanpa Rokok. [Antara].
Baca 10 detik
  • Raperda KTR DKI Jakarta menuai sorotan pelaku ritel dan UMKM karena dinilai berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi.
  • HIPPINDO menilai penerapan radius larangan penjualan produk tembakau sulit diimplementasikan karena kompleksitas tata kota Jakarta.
  • Pelaku UMKM khawatir pembatasan rokok berdampak signifikan karena produk tersebut adalah penopang utama arus kas harian.

Suara.com - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) menuai sorotan dari pelaku usaha ritel dan UMKM.

Di tengah upaya pemulihan ekonomi, kebijakan tersebut dinilai berpotensi mengganggu ekosistem ritel modern hingga pedagang kecil.

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menilai sejumlah pasal dalam Raperda KTR, khususnya terkait zonasi larangan penjualan produk hasil tembakau, berisiko menimbulkan persoalan di lapangan.

Ketua Umum HIPPINDO Budihardjo Iduansjah menilai penerapan aturan radius di Jakarta akan sulit diimplementasikan.

Pengunjung berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta, Kamis (28/11/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Menurut Budihardjo, karakter tata kota Jakarta yang kompleks membuat definisi radius larangan penjualan produk tembakau menjadi tidak sederhana.

Pusat perbelanjaan atau mal, kata dia, bukan hanya tempat belanja, tetapi juga pusat aktivitas masyarakat, mulai dari beribadah hingga belajar.

"Kalau kawasan tanpa rokok itu harus diperjelas secara detail. Kalau radius nggak bisa karena penjualan rokok masih merupakan tulang punggung daripada sektor retail dan sektor produsen. Dan itu harus memperhatikan tenaga kerja dan lain sebagainya," ujar Budihardjo di Jakarta, Minggu (21/12/2025).

Meski kebijakan zonasi larangan penjualan rokok dikabarkan akan dihilangkan dalam pembahasan Raperda KTR, HIPPINDO tetap melihat adanya potensi dampak ekonomi akibat pembatasan ekstrem terhadap penjualan produk tembakau. Jika aturan tersebut disahkan, ekosistem ritel dikhawatirkan ikut terdampak.

"Ya penurunan omzet itu, penjualan kami itu hampir Rp20 triliun setahun itu bisa ada terjadi penurunan secara ekosistem dari retail. Kerugian puluhan triliun itu dari distributor, peritel sampai supplier terkena dampaknya," ungkap Budihardjo.

Baca Juga: Modal Dedaunan, UMKM Ini Tembus Pasar Eropa dan Rusia dengan Teknik Ecoprint

Dampak kebijakan tersebut juga dikhawatirkan dirasakan pelaku UMKM. Di tengah kondisi daya beli yang belum sepenuhnya pulih dan persaingan dengan ritel jaringan nasional, UMKM dinilai berada dalam posisi yang rentan.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO) Anang Zunaedi mengatakan, produk tembakau merupakan komoditas dengan perputaran uang cepat bagi pelaku UMKM. Penjualan rokok kerap menjadi penopang arus kas harian pedagang kecil.

"Terkait zonasi dan KTR tentu berdampak karena rokok menjadi kategori produk fast moving di peritel Koperasi UMKM. Apalagi di peritel tingkat mikro yang bergantung di produk rokok maka ini sangat memberatkan," papar Anang.

Ia berharap pemerintah lebih cermat dalam merumuskan Raperda KTR agar tujuan pengendalian konsumsi produk tembakau tidak berujung pada terganggunya mata pencaharian pedagang kecil.

"Mestinya pemerintah berupaya mengedukasi masyarakat tentang rokok tanpa harus mematikan usaha pedagangnya," pungkas Anang.

Load More