Suara.com - Pertumbuhan ekonomi belum bisa memacu penyerapan tenaga kerja. Salah satu sebabnya, belum bersandar pada industri manufaktur yang daya serap tenaga kerjanya tinggi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, kontribusi industri pada perekonomian justru sedang turun. Kemerosotan kontribusi industri pada perekonomian atau deindustrialisasi sudah terjadi 10 tahun terakhir.
Dari 26 persen, kontribusi industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) menjadi hanya 20 persen.
“Kalau deindustrialisasi ini dibiarkan maka serapan tenaga kerja secara nasional bisa kurang optimal,” kata Bhima.
Bhima menuturkan, pemerintah perlu memberi intensif pada industri penyerap tenaga kerja.
"Kebijakan afirmatif itu antara lain penerapan pajak, cukai dan retribusi berbeda atau khusus dibanding sektor dengan daya serap tenaga kerja rendah," ungkapnya.
Perlu diketahui, selama bertahun-tahun, Indonesia mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor yang serapan tenaga kerjanya rendah seperti sektor jasa.
Selain rendah serapan tenaga kerja, sebaran usaha sektor jasa juga terkonsentrasi di perkotaan. Padahal, lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di perdesaan.
Berbeda dengan industri manufaktur yang memiliki daya serap tenaga kerja tinggi, serta dapat dibangun di mana saja sesuai potensi daerah.
Idealnya industri manufaktur menjadi sektor andalan, dengan ditunjang sektor jasa, pertanian, dan investasi. Oleh karenanya, seluruh pemangku kepentingan perlu menyatukan pandangan dan upaya untuk mengembalikan sektor industri sebagai motor pembangunan.
Berdasarkan data yang dihimpun, kemerosotan industri antara lain bisa dilihat di Batam, daerah yang dirancang menjadi salah satu pusat industri.
Setiap tahun, paling sedikit satu pabrik berhenti beroperasi di berbagai kawasan industri. Di luar kawasan industri, kemerosotan terlihat pada sektor galangan kapal.
Dari 110 galangan dengan 250.000 tenaga kerja pada 2014, kini hanya lima galangan aktif dengan total pekerja tidak sampai 22.000 orang.
Kemerosotan juga terlihat nyata pada industri rokok. Dalam periode 2006-2016, 3.195 pabrik rokok tutup dan sedikitnya 32.729 pekerja pabrik rokok dipecat.
Hampir seluruh pekerja yang dipecat merupakan pelinting atau pekerja sigaret kretek tangan (SKT).
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Bedak Viva Terbaik untuk Tutupi Flek Hitam, Harga Mulai Rp20 Ribuan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- Mulai Hari Ini! Sembako dan Minyak Goreng Diskon hingga 25 Persen di Super Indo
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas Sekelas Brio untuk Keluarga Kecil
- Sabrina Chairunnisa Ingin Sepenuhnya Jadi IRT, tapi Syaratnya Tak Bisa Dipenuhi Deddy Corbuzier
Pilihan
-
Nasib Sial Mees Hilgers: Dihukum Tak Main, Kini Cedera Parah dan Absen Panjang
-
5 HP dengan Kamera Beresolusi Tinggi Paling Murah, Foto Jernih Minimal 50 MP
-
Terungkap! Ini Lokasi Pemakaman Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi
-
BREAKING NEWS! Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi Wafat
-
Harga Emas Turun Hari ini: Emas Galeri di Pegadaian Rp 2,3 Jutaan, Antam 'Kosong'
Terkini
-
Fundamental Kuat dan Prospektif, BRI Siapkan Buyback Saham
-
LRT Jabodebek Bisa Tap In dengan QRIS NFC Android, iPhone Kapan Nyusul?
-
Harga Emas Dunia Diramal Bertahan di Atas US$ 4.000, Emas Lokal Bakal Terdampak?
-
6.000 Karyawan Kena PHK, CEO Microsoft Lebih Berminat Gunakan AI
-
Tol Padaleunyi Terapkan Contraflow Selama 10 Hari Pemeliharaan Jalan, Cek Jadwalnya
-
4 Bansos Disalurkan Bulan November 2025: Kapan Mulai Cair?
-
Dukung FLOII Expo 2025, BRI Dorong Ekosistem Hortikultura Indonesia ke Pasar Global
-
Cara Cek Status Penerima Bansos PKH dan BPNT via HP, Semua Jadi Transparan
-
Puluhan Ribu Lulusan SMA/SMK Jadi Penggerak Ekonomi Wong Cilik Lewat PNM
-
Gaji Pensiunan PNS 2025: Berapa dan Bagaimana Cara Mencairkan