Suara.com - Dalam Sidang Tahunan 16 Agustus 2021 di Gedung MPR/DPR, Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya melakukan konsolidasi dan reformasi fiskal yang dilakukan secara menyeluruh, bertahap, dan terukur.
Reformasi fiskal yang dimaksud meliputi penguatan penerimaan negara, perbaikan belanja serta pembiayaan yang prudent demi terwujudnya pengelolaan fiskal yang lebih sehat, berdaya tahan, dan mampu menjaga stabilitas perekonomian.
Salah satu yang menjadi bagian dari proses reformasi kebijakan fiskal adalah penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT). Struktur saat ini yang terdiri dari 10 lapisan dinilai masih sangat kompleks dan berdampak pada tidak optimalnya penerimaan negara.
Rencana penyederhanaan struktur tarif CHT telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun, hingga saat ini rencana penyederhanaan tersebut belum terlaksana.
Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh ICJR Learning Hub dan BHR Institute pada Kamis 28 Oktober 2021, Analisis Kebijakan fiskal di Kementerian Keuangan RI Sarno menerangkan jika penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau terkait dengan 7 agenda pembangunan yaitu agenda memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan agenda meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing.
Menurut Sarno, Pemerintah berniat menurunkan angka prevelansi merokok dengan kebijakan fiskal dan non fiskal. Kebijakan fiskal dilakukan dengan penyederhanaan tariff struktur cukai hasil tembakau dan peningkatan tarif cukai hasil tembakau.
Saat ini, Pemerintah masih menggodok kebijakan cukai hasil tembakau untuk tahun 2022. Dengan kenaikan target penerimaan cukai tembakau sebesar Rp20 triliun untuk tahun depan, dapat dipastikan tarif cukai tembakau juga akan mengalami kenaikan.
Sarno menyatakan bahwa kenaikan cukai ini akan dilakukan dengan mempertimbangkan 4 pilar kebijakan cukai hasil tembakau untuk peningkatan kualitas SDM yaitu melalui pengendalian konsumsi tembakau, keberlangsungan tenaga kerja, penerimaan Negara, dan pengawasan rokok illegal.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur SDM UI & Peneliti Senior PEBS FEB UI Abdillah Ahsan, menjelaskan jika pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, berkelanjuan, dan menyehatkan harus ditopang oleh masyarakat yang sehat dan menghasilkan SDM yang sehat.
Baca Juga: Pemerintah Timbang Seluruh Aspek Dalam Memutuskan Revisi PP 109/2021
Mengutip data BPJS Kesehatan pada 2019, Ahsan menerangkan bahwa terdapat 17,5 juta kasus penyakit terkait rokok - tembakau (jantung, kanker, stroke) dengan biaya lebih dari Rp 16,3 Triliun.
Karena itu Ahsan berpandangan bahwa diperlukan kenaikan tarif cukai tembakau dan penyederhanaan struktur cukai dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau.
Saat ini, akibat struktur cukainya yang kompleks, harga rokok di Indonesia menjadi sangat bervariasi. Jarak harga rokok mahal dan rokok murah sangat jauh, sehingga masyarakat utamanya anak-anak masih dapat menjangkau rokok dengan harga murah.
Lara Rizka, Project Officer for Tobacco Control-CISDI, menjelaskan tentang berbagai hasil studi yang dilakukan terkait rokok dan konsumsinya di Indonesia. Dalam riset yang dilakukan oleh University of Illinois Chicago pada 2020 tentang cigarette tax scorecard, Indonesia mendapatkan penilaian yang cukup rendah di Asia Tenggara, hanya 1,63 dari skor maksimal 5, berada di bawah Filipina (3,75), Singapura (3,25), dan Malaysia (2,75).
Salah satu alasannya ialah karena struktur cukai di Indonesia yang masih sangat rumit dan menyebabkan kenaikan cukai menjadi tidak efektif. Kenaikan cukai tidak membuat orang berhenti merokok melainkan beralih pada jenis rokok yang lebih murah, yang dimungkinkan karena banyak variasi harga rokok akibat struktur cukai yang rumit.
Hal ini juga terbukti dari riset CISDI tentang status dan perilaku merokok setelah 10 bulan pandemi covid-19 di Indonesia yang menemukan bahwa meskipun sebagian besar perokok tidak mengubah konsumsinya, sekitar seperempat dari perokok melakukan perubahan perilaku merokok dengan beralih ke rokok yang lebih murah selama masa pandemi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
-
Dampingi Presiden, Bahlil Ungkap BBM hingga Listrik di Sumbar Tertangani Pasca-Bencana
Terkini
-
UMKM Terdampak Banjir Sumatera Dapat Klaim Asuransi untuk Pemulihan Usaha
-
Harga Perak Sempat Melonjak Tajam, Hari Ini Koreksi Jelang Akhir Pekan
-
Danantara Bangun 15.000 Hunian Sementara untuk Korban Banjir Sumatera
-
Viral di Medsos, Purbaya Bantah Bantuan Bencana Sumatra dari Luar Negeri Kena Pajak
-
Indodax Setor Kewajiban Pajak Kripto, Mulai dari PPh hingga PPN Transaksi Digital
-
IHSG dan Rupiah Kompak Loyo Hari Ini
-
Program Belanja 2025 Tembus Transaksi Rp272 Triliun
-
Apa Itu Working Capital? Pahami Pengertian dan Pentingnya bagi Kesehatan Bisnis
-
Cara Cek PIP 2025 dari HP, Jangan Tunda Pastikan Status Penerima
-
Target Harga Surge (WIFI) Usai Kinerja Naik 155 Persen