Suara.com - Keterlibatan akademisi dalam perumusan regulasi diharapkan dapat dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.
Harapannya, akademisi bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya nanti dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok.
Demikian salah satu pembahasan dalam Guest Lecture "Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy" yang diselenggarakan Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.
Health Policy Analysis Coordinator Evidence-Based Health Policy Center IMERI-FKUI Ahmad Fuady menjelaskan keterlibatan akademisi saat ini dalam perumusan suatu regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan.
Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten.
“Contoh di undang-undang, kita tidak bisa terapkan 100% akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” ujar Ahmad, seperti dikutip Jumat (20/12/2024).
Untuk level undang-undang, menurut Achmad, keterlibatan akademisi sebesar 30% sudah cukup besar. Biasanya, peran akademisi baru dilibatkan ketika produk hukum tersebut selangkah lagi disahkan.
“Kalau mau ditandatangani, keterlibatan akademisi baru ada. Sekarang ini bagaimana caranya keterlibatan akademisi bukan di belakang. Perlu ada proses keterlibatan yang bermakna, bukan sekedar diundang sosialisasi sementara minggu depan sudah mau diketuk baru ditanya, ada masukan apa dalam waktu singkat,” tegasnya.
Ada beberapa syarat pelibatan bermakna agar akademisi terlibat aktif dalam perumusan suatu kebijakan. Pertama, sikap saling menghormati antara pembuat kebijakan dan akademisi. Kedua, bermartabat. Hal ini untuk menunjukkan adanya kesetaraan di antara kedua belah pihak. Ketiga, inklusivitas.
Baca Juga: Diklaim Demi Wong Cilik, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Tembakau Lewat PP Kesehatan
“Inklusif ini masih jarang, misal menulis aturan tentang kanker, kita undang orang yang mengalami penyakit tersebut dan minta pendapatnya,” ucapnya.
Dengan mengedepankan ketiga poin tersebut, lanjut Ahmad, diharapkan dapat memperkuat keyakinan para akademisi untuk menjalankan riset dengan metode terbaik untuk hasil yang berkualitas bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan regulasi.
“Tanpa itu, riset tidak bisa mengembangkan apa yang dibutuhkan pembuat kebijakan. Membangun sistem kolaborasi itu dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas riset bagus, termasuk cara pengemasan dan bahasa saat disampaikan kepada pembuat kebijakan,” kata Ahmad.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Direktur Riset Kebijakan Penelitian & Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu, menambahkan ada bukti yang cukup kuat bahwa kebijakan yang dibentuk dengan berlandaskan kajian ilmiah dan analisis rasional akan memberikan hasil yang baik. Oleh sebab itu, pembuat kebijakan menggunakan hasil riset untuk pembentukan regulasi. “Sebagai justifikasi untuk membuat keputusan yang baik,” kata Tikki.
Sekarang ini, lanjut Tikki, berbagai institut pendidikan tinggi sudah melakukan riset dan pengembangan teknologi yang hasil penelitiannya dianalisis untuk dijadikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan.
Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi acuan dalam penyusunan regulasi. Sebagai contoh, Pemerintah Jepang mendukung penggunaan produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, setelah melihat hasil kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa produk tersebut merupakan alternatif untuk beralih dari kebiasaan merokok karena memiliki profil risiko yang jauh lebih rendah.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
Terkini
-
LPDB Koperasi Akselerasi Penyelesaian Dana Bergulir di Provinsi Bali
-
Dongkrak Produksi Minyak di Papua, SKK Migas dan Petrogas Mulai Injeksi Kimia di Lapangan Walio
-
Menperin Minta Insentif Otomotif ke Menkeu
-
Barcelona dan BRI Kolaborasi, Bayar Cicilan di BRImo Bisa Ketemu Lamine Yamal
-
IHSG Menutup 2025 di Level Tertinggi, OJK Buka Rahasia Pasar Modal RI yang Solid
-
Catatan Akhir Tahun, Aktivitas Industri Manufaktur RI Melambat
-
Cicilan HP ShopeePayLater vs Kredivo, Mana yang Lebih Murah
-
Pemerintah Tegaskan Impor Daging Sapi untuk Industri Bukan Kosumsi Masyarakat
-
Catatan Akhir Tahun: Waspada Efek 'Involusi' China dan Banjir Barang Murah di Pasar ASEAN
-
Pencabutan Insentif Mobil Listrik Perlu Kajian Matang di Tengah Gejolak Harga Minyak