Suara.com - Kebijakan tarif resiprokal yang digulirkan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump tidak hanya menjadi pukulan telak bagi kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam, tetapi juga memicu gelombang dampak susulan yang mengancam stabilitas makroekonomi domestik.
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan pendekatan perdagangan unilateral ini bukan hanya persoalan neraca dagang semata, melainkan berpotensi menyeret perekonomian global ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam.
Dia bilang ancaman perlambatan ekonomi global semakin nyata dengan tertekannya harga komoditas-komoditas utama. Data per 10 April 2025 menunjukkan koreksi signifikan pada harga minyak dunia, di mana West Texas Intermediate (WTI) dan Brent Crude masing-masing merosot sebesar 1,32% dan 1,42%.
"Ironisnya, tren penurunan ini juga menjangkiti dua komoditas andalan ekspor Indonesia, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batu bara," tulis Yusuf dalam Riset terbaru Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia betajuk "Manuver Strategis Indonesia Menghadapi Badai Tarif Resiprokal" dikutip Kamis (24/4/2025).
Menurut Yusuf kombinasi antara tekanan tarif dan pelemahan harga komoditas ini menjadi kombinasi mematikan yang semakin memperburuk prospek neraca perdagangan Indonesia.
Dampak kebijakan tarif ini mulai terasa di sektor-sektor padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor Indonesia ke AS, seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki. Penurunan permintaan dari pasar AS memaksa para produsen untuk mempertimbangkan pemangkasan produksi sebagai respons terhadap penurunan pesanan.
"Konsekuensi pahitnya adalah potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengintai para pekerja di sektor-sektor tersebut," ungkap Yusuf.
Kondisi ini secara langsung mengancam pendapatan rumah tangga dan melemahkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat menghambat konsumsi domestik, salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, penurunan penerimaan devisa akibat ekspor yang lesu juga memberikan tekanan hebat terhadap nilai tukar rupiah, menciptakan lingkaran setan yang semakin memperburuk kondisi ekonomi.
Selain itu depresiasi rupiah menjadi salah satu dampak paling nyata dari ketidakpastian global ini. Dalam sebulan terakhir, pergerakan nilai tukar rupiah menunjukkan volatilitas yang mengkhawatirkan. Setelah sempat berada di level Rp16.572,6 per dolar AS pada 28 Maret 2025 dan menguat tipis ke Rp16.560 pada 1 April, rupiah terjun bebas hingga menyentuh level Rp17.199,2 per dolar AS pada 7 April.
Baca Juga: Trump Melunak! Siap Negosiasi Besar dengan China, Pasar Global Bereaksi Positif
Fluktuasi tajam ini menjadi cerminan kecemasan pasar keuangan global terhadap prospek ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Jika tren pelemahan rupiah terus berlanjut, tekanan inflasi dari sisi harga barang impor akan semakin membengkak. "Barang-barang impor yang menjadi kebutuhan produksi maupun konsumsi akan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya akan membebani masyarakat dan menggerus daya beli," papar dia.
Dari sisi kebijakan moneter, tekanan tarif resiprokal AS juga menghadirkan dilema pelik. Kenaikan harga barang impor di AS berpotensi mendorong inflasi di dalam negeri, yang dapat memaksa Federal Reserve (The Fed) untuk melakukan penyesuaian suku bunga guna menjaga stabilitas ekonomi mereka. Kenaikan suku bunga The Fed akan memperkuat nilai dolar AS dan memicu aliran modal keluar (capital outflow) dari pasar negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan investor global yang mencari "safe haven" dengan imbal hasil yang lebih menarik di AS.
Dalam skenario terburuk, Bank Indonesia (BI) berpotensi mengubah arah kebijakan moneter dari yang semula mendukung pertumbuhan (pro-growth) menjadi lebih fokus pada stabilisasi harga dan nilai tukar.
"Meskipun langkah ini krusial untuk menjaga kepercayaan pasar dan meredam inflasi, kebijakan suku bunga yang lebih ketat dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang saat ini tengah diupayakan pemerintah melalui dorongan investasi dan konsumsi," katanya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 HP RAM 8 GB Paling Murah dengan Spesifikasi Gaming, Mulai Rp1 Jutaan
- 5 Tablet Snapdragon Mulai Rp1 Jutaan, Cocok untuk Pekerja Kantoran
- 7 Rekomendasi Sepatu Jalan Kaki Terbaik Budget Pekerja yang Naik Kendaraan Umum
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
-
Minta Restu Merger, GoTo dan Grab Tawarkan 'Saham Emas' ke Danantara
Terkini
-
Menkeu Purbaya Buka Lowongan Kerja Besar-besaran, Lulusan SMA Bisa Melamar jadi Petugas Bea Cukai
-
Pajak UMKM 0,5 Persen Bakal Permanen? Purbaya: Tapi Jangan Ngibul-ngibul Omzet!
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Aguan Punya Mal Baru Seluas 3,3 Hektare, Begini Penampakkannya
-
Gudang Beku Mulai Beroperasi, BEEF Mau Impor 16.000 Sapi Tahun Depan
-
Proses Evaluasi Longsor di Tambang PT Freeport Selesai Antara Maret atau April
-
Bahlil Dorong Freeport Olah Konsentrat Tembaga Amman
-
Purbaya Pesimis DJP Bisa Intip Rekening Digital Warga Tahun Depan, Akui Belum Canggih
-
Sempat Tolak, Purbaya Akhirnya Mau Bantu Danantara Selesaikan Utang Whoosh
-
Purbaya Duga Pakaian Bekas Impor RI Banyak dari China, Akui Kemenkeu Lambat Tangani