Suara.com - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 kembali menjadi sorotan tajam. Di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan, instrumen fiskal ini dinilai menghadapi tantangan kompleks, baik dari dalam maupun luar negeri.
RAPBN 2026 bahkan disebut sebagai tolok ukur kredibilitas perencanaan ekonomi nasional, namun lembaga Core Indonesia menemukan tiga 'jebakan' krusial yang perlu diwaspadai.
Hal itu terungkap dalam riset terbaru Core Indonesia bertajuk RAPBN 2026: Ekspansi Fiskal di Atas Fondasi Rapuh yang dilihat, Senin (25/8/2025).
"RAPBN 2026 hadir di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks," demikian laporan Core Indonesia itu.
Dalam catatannya lembaga itu menekankan bahwa RAPBN tak hanya mencerminkan prioritas, tetapi juga kredibilitas perencanaan ekonomi di mata publik dan pasar.
Dalam evaluasi mendalam, setidaknya ada tiga catatan utama yang menjadi lampu merah bagi RAPBN 2026 menurut Core Indoenesia:
1. Asumsi Makro Terlalu Optimistis: RAPBN 2026 dibangun di atas asumsi makroekonomi yang cenderung optimistis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena jika terjadi deviasi, kredibilitas perencanaan bisa terkikis.
2. Struktur Penerimaan yang Lemah: Meskipun target penerimaan tinggi, basis pajak Indonesia masih sempit. Selain itu, pendapatan negara sangat bergantung pada volatilitas harga komoditas global, yang membuatnya rentan terhadap gejolak pasar.
3. Ekspansi Fiskal Tanpa Efisiensi: Peningkatan belanja pemerintah tidak diimbangi dengan perbaikan produktivitas dan target yang tepat sasaran. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa anggaran besar yang digelontorkan tidak akan memberikan dampak optimal pada perekonomian.
Baca Juga: APBN Memikul Beban Berat, Sri Mulyani Minta Tolong Danantara dan Swasta
Belanja Pemerintah Meningkat, tapi Produktivitas Stagnan
Lebih dari sekadar catatan tahunan, ada refleksi mendalam selama 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Belanja pemerintah yang meningkat signifikan ternyata belum berhasil menjadi pengungkit produktivitas ekonomi yang efektif. Hal ini terlihat dari stagnannya pertumbuhan PDB per kapita dan peningkatan nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
ICOR yang terus meningkat menunjukkan bahwa biaya investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output ekonomi menjadi semakin mahal. Ini adalah sinyal bahwa belanja pemerintah belum mampu menciptakan pertumbuhan berkualitas dan efisien.
Dengan tantangan yang ada, RAPBN 2026 bukan hanya sekadar dokumen anggaran, melainkan ujian nyata bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa kebijakan fiskal mampu menjawab tantangan ekonomi yang kompleks dan membawa Indonesia menuju tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Tidak Ada Nasi di Rumah, Ibu di Makassar Mau Lempar Anak ke Kanal
-
Cuaca Semarang Hari Ini: Waspada Hujan Ringan, BMKG Ingatkan Puncak Musim Hujan Makin Dekat
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
Terkini
-
Purbaya Yakin Demo Akan Berkurang, Bidik Pertumbuhan Ekonomi 6% Tahun Depan
-
Tingkatkan Ekonomi Masyarakat, Pegadaian dan Universitas Halu Oleo Berdayakan Pandai Besi Binongko
-
BTN Mau Masuk Bisnis Paylater Hingga Kredit Mobil-Motor Tahun Depan
-
Ratu Maxima Terkejut Ada Bank Terima Bayar KPR Lewat Sampah, Gimana Mekanismenya?
-
Promo Merchant BRI: Jangan Lewatkan Diskon 15% Tiket Planet Sports Run 2026, Catat Tanggalnya!
-
Rupiah Jeblok di Pembukaan Hari Ini
-
BTN Ungkap Risiko Jika SLIK Dihapus
-
IHSG Berbalik Menghijau di Jumat Pagi, Tapi Rawan Alami Koreksi
-
Hingga November, Penyaluran BLTS Capai 5,5 Juta Keluarga Penerima Manfaat
-
Riset CORE Sebut Ekonomi RI Bisa Lebih Buruk di 2026, Apa Pemicunya