Suara.com - Rekaman suara burung yang diputar oleh tempat usaha seperti kafe bisa dikenai kewajiban bayar royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Ditegaskan bahwa rekaman suara alam termasuk dalam kategori fonogram yang dilindungi oleh hak terkait.
Oleh karena itu, penggunaannya di ruang publik tetap harus membayar royalti kepada pemilik haknya.
Kontroversi pun bermunculan. Banyak pelaku usaha mempertanyakan logika di balik aturan ini.
Bagaimana mungkin suara yang tidak diciptakan oleh manusia bisa dianggap karya berhak cipta?
Namun menurut LMKN, yang dilindungi bukan suara alam itu sendiri, melainkan rekaman atau produksi suara tersebut, yang telah melalui proses teknis oleh produser fonogram.
Maka, meskipun yang diputar hanya suara burung atau ombak pantai, jika itu adalah hasil rekaman resmi, penggunaannya tetap wajib membayar royalti.
Nah, kalau suara burung saja dikenai royalti, apakah musik klasik juga? Apakah aman bagi pemilik kafe atau restoran memutar karya Mozart atau Beethoven tanpa membayar sepeser pun?
Jawabannya: Bisa Iya, Bisa Tidak
Baca Juga: Melanie Subono Syok Tahu Aturan Royalti Suara Burung di Resto
Secara hukum, karya-karya musik klasik memang sudah masuk domain publik, artinya hak ciptanya sudah kedaluwarsa dan bebas digunakan siapa saja.
Di Indonesia, hak cipta berlaku seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah kematiannya.
Karya-karya komposer legendaris seperti Bach (w. 1750), Mozart (w. 1791), atau Beethoven (w. 1827) sudah tidak lagi dilindungi hak cipta penciptanya.
Pemilik usaha bebas menggunakan notasi atau melodinya, bahkan untuk pertunjukan live di tempat komersial.
Namun, permasalahan kembali muncul ketika musik klasik itu diputar dari rekaman modern. Di sinilah hak terkait kembali berperan.
Hak terkait merupakan perlindungan hukum atas hasil rekaman atau fonogram, yang biasanya dimiliki oleh produser rekaman, label musik, atau studio orkestra.
Jika kamu memutar simfoni Beethoven versi rekaman London Philharmonic Orchestra tahun 2015, maka rekaman itu dilindungi selama 50 tahun sejak pertama kali dirilis.
Dengan kata lain, pemilik usaha tetap harus membayar royalti kepada LMKN jika memutar rekaman musik klasik modern, meskipun karya aslinya bebas hak cipta.
Royalti ini nantinya akan disalurkan kepada pihak pemegang hak terkait, seperti produser atau label rekaman yang merekam karya tersebut.
Tarif Royalti yang Berlaku
Untuk tempat usaha seperti kafe, restoran, hotel, pusat kebugaran, dan layanan publik lainnya, pemerintah sudah menetapkan tarif royalti yang terjangkau.
Rinciannya adalah Rp60.000 per kursi per tahun untuk hak cipta, dan Rp60.000 per kursi per tahun untuk hak terkait.
Jadi, totalnya Rp120.000 per kursi per tahun, atau sekitar Rp10.000 per bulan.
LMKN menyebutkan bahwa tarif ini sudah tergolong sangat rendah dibandingkan negara-negara lain, dan justru memudahkan pelaku usaha untuk tetap legal tanpa terbebani biaya besar.
Alternatif Aman: Live Music
Jika ingin benar-benar bebas dari kewajiban membayar royalti atas rekaman, pemilik usaha bisa memilih opsi pertunjukan live.
Ketika musik klasik dimainkan secara langsung oleh musisi di tempat tanpa menggunakan rekaman, maka tidak ada hak terkait yang dikenakan.
Namun, jika musisi tersebut membuat aransemen baru atas karya klasik dan menyajikannya secara komersial, hak cipta baru bisa timbul atas aransemen tersebut.
Royalti tidak hanya berlaku untuk lagu-lagu populer yang sering terdengar di radio atau platform digital.
Bahkan suara burung dan musik klasik pun bisa menimbulkan kewajiban royalti, tergantung pada bentuk dan sumbernya.
Musik klasik memang bisa bebas hak cipta jika merujuk pada karya aslinya yang sudah masuk domain publik, tapi rekaman modern tetap terlindungi hak terkait selama 50 tahun.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Berita Terkait
-
Melanie Subono Syok Tahu Aturan Royalti Suara Burung di Resto
-
Rekam Jejak Dharma Oratmangun, Ketua LMKN yang Sebut Putar Suara Burung Bisa Kena Royalti
-
Warganet Pertanyakan Peran Pemerintah Buat Royalti Lagu Nasionalis Seperti 'Garuda di Dadaku'
-
Suara Live: One Piece "Invasi" Solo hingga Kementerian PMK Soroti Polemik Royalti Musisi
-
Royalti Bikin Kafe Ketar-Ketir? Piyu Padi Reborn Beri Reaksi Bijak
Terpopuler
- 31 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 18 Desember: Ada Gems dan Paket Penutup 112-115
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
- 5 Skincare untuk Usia 60 Tahun ke Atas, Lembut dan Efektif Rawat Kulit Matang
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- Kuasa Hukum Eks Bupati Sleman: Dana Hibah Pariwisata Terserap, Bukan Uang Negara Hilang
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Bukan Zina, Insanul Fahmi Akhirnya Ngaku Sudah Nikahi Inara Rusli dan Jawab Isu Hamil Duluan
-
Jenis Kelamin Bayi yang Dikandung Alyssa Daguise: Tebakan Al Ghazali Salah
-
Move On Dari Desta? Natasha Rizky Siap Mulai Lembaran Baru
-
Hari Terakhir Promo Tiket Nonton Film Avatar: Fire and Ash Bonus Voucher Makan di IMAX
-
Leticia Charlotte Putri Sulung Sheila Marcia, Resmi Jadi Juara Gadis Sampul 2025
-
5 Momen Paling 'Gila' di MMA 2025: G-Dragon Ajak Idol Junior 'Party' Sampai Kejutan Lagu Baru EXO!
-
Hadiri Meet and Greet di Jakarta, Nayeon TWICE Bocorkan Gaya Perhiasan Favoritnya
-
Manggung di Soundrenaline 2025, Isyana Sarasvati x Kasimyn Suguhkan Musik 'Dangdut Post-Apocalyptic'
-
Mahsuri Dukung Kerlap Kerlip 2025, Festival Musik Seru Akhir Tahun di BSD City
-
Hadirkan Teror Kelam Mitos Jawa, Film Sengkolo: Petaka Satu Suro Bakal Tayang 22 Januari