Suara.com - Tes keperawanan secara fisik dapat menimbulkan trauma bagi perempuan yang mengikuti seleksi calon polisi wanita, kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Dewi Haryani Susilastuti.
"Tes keperawanan merupakan pengalaman buruk bagi perempuan yang mengikuti seleksi masuk kepolisian," kata Dewi pada peringatan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, di Yogyakarta, Selasa (25/11/2014).
Menurut Dewi, laporan Human Right Watch menyebutkan praktik tes keperawanan ternyata masih dijalankan kepolisian meskipun secara formal syarat tersebut telah dihapuskan sejak era reformasi.
"Hal itu sungguh ironis. Saat sebuah institusi yang salah satu mandatnya adalah memberikan perlindungan terhadap perempuan, justru melakukan praktik yang represif terhadap perempuan," kata Dewi.
Ia mengatakan apa pentingnya tes keperawanan terhadap calon polisi wanita. Hal itu menunjukkan institusi kepolisian tidak benar-benar paham apa makna dan maksud dari tes keperawanan.
"Praktik tersebut jelas menunjukkan kerasnya budaya yang meminggirkan sekaligus merendahkan perempuan," kata pemerhati gender itu.
Di sisi lain, lanjut Dewi, sebuah studi menunjukkan peningkatan jumlah unit layanan bagi perempuan dan anak belum diikuti dengan meningkatnya kualitas pelayanan. Staf penyedia layanan pada unit-unit tersebut "tidak sensitif gender".
"Saya kira lembaga atau unit layanan yang sudah matang dalam jumlah itu juga kurang diikuti dengan kampanye yang gencar. Misalnya, diseminasi informasi tentang isu-isu kekerasan terhadap perempuan," katanya.
Ia mengatakan sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga pada 2004, jumlah penyedia layanan bagi korban kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan termasuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di kepolisian.
"Skema organisasi dan tata kerjanya disusun melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007," katanya.
Menurut dia, unit pada tingkat Mabes Polri itu berkedudukan di bawah Direktorat I Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri.
"Unit itu memiliki visi memberikan perlindungan sekaligus pelayanan secara cepat dan profesional kepada perempuan dan anak yang menjadi korban dan atau saksi atas tindakan kekerasan, kejahatan 'trafficking', dan pelecehan seksual dengan empati," katanya.(Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
Terkini
-
Rekomendasi Minuman Sehat untuk Kontrol Diabetes, Ini Perbandingan Dianesia, Mganik dan Flimeal
-
Akses Perawatan Kanker Lebih Mudah dengan Fasilitas Radioterapi Modern
-
SEA Games Thailand 2025: Saat Kenyamanan Jadi Bagian dari Performa Atlet Indonesia
-
Gatam Institute Eka Hospital Buktikan Operasi Lutut Robotik Kelas Dunia Ada di Indonesia
-
Teknologi Kesehatan Makin Maju: CT Scan Generasi Baru Percepat Diagnostik dan Tingkatkan Kenyamanan
-
Mengapa Air Minum Hasil Distilasi Lebih Aman untuk Kesehatan? Begini Penjelasannya
-
Temuan Baru tentang Polifenol Spearmint: Pendukung Alami Memori, Konsentrasi, hingga Kinerja Mental
-
Dari Alat Medis hingga Kesehatan Digital, Indonesia Mempercepat Transformasi Layanan Kesehatan
-
Fenomena Sadfishing di Media Sosial, Bagaimana Cara Mengatasinya?
-
5 Kesalahan Umum Saat Memilih Lagu untuk Anak (dan Cara Benarnya)