Suara.com - Kepala Balitbangkes RI, Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa dampak kesehatan akibat menghirup asap kebakaran hutan dan lahan bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, tingkat kepekatan asap yang diukur melalui Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Kedua, berapa banyak asap yang dihirup, dan ketiga adalah tingkat kekebalan tubuh.
Ibu hamil, orang sakit, anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan akibat asap kebakaran hutan dan lahan di Riau, karena daya tahan tubuhnya yang rendah. Oleh karena itu Prof Tjandra mengimbau agar masyarakat terutama kelompok yang rentan untuk meminimalisir jumlah asap yang dihirup.
"Gunakan masker sebagai pelindung. Semakin ketat maskernya maka fungsi untuk melindunginya juga semakin baik," imbuhnya usai pembukaan Simposium Internasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Lebih lanjut Prof Tjandra menambahkan bahwa risiko kematian akibat menghirup asap kebakaran lahan sangat kecil meski tetap bisa membahayakan kondisi kesehatan seseorang.
"Angka kematian langsung akibat dampak kesehatan asap kebakaran hutan biasanya amat kecil, relatif terhadap jumlah orang yang terdampak asap kebakaran hutan," imbuhnya.
Meski risiko kematian amat kecil, Prof Tjandra menyebut, ada tiga kemungkinan kabut asap bisa berakibat fatal bagi seseorang. Pertama, infeksi sistem pernapasan (ISPA) yang memburuk menjadi pneumonia. Bila tidak tertangani dengan baik dan pada kelompok dengan daya tahan tubuh lemah, maka bisa berakibat fatal.
"Kemungkinan kedua bisa memperparah penyakit paru dan jantung kronik, apalagi pada lansia, tentu hal ini bisa sangat berbahaya," tambahnya.
Bencana asap kebakaran lahan, kata Prof Tjandra, juga bisa berakibat fatal bukan karena penyakit, tapi disebabkan oleh kecelakaan akibat asap yang menghalangi pandangan pengendara.
Lantas, bagaimana dengan kemungkinan warga Riau mengidap kanker akibat menghirup asap terus menerus?
"Kemungkinan kanker paru-paru sangat kecil, karena musibah tersebut hanya terjadi periodik, tidak berkepanjangan atau menjadi kebiasaan yang memicu penyakit kronik seperti merokok. Bahkan merokok lebih berbahaya," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat