Suara.com - Praktik bully atau perundungan banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk lokasi kerja seperti kantor. Mereka yang menjadi korban bully telah dikaitkan dengan kenaikan dramatis pada risiko terkena penyakit diabetes.
Sebuah tim peneliti di Denmark melakukan riset mendalam pada sekitar 46 ribu orang pekerja. Mereka menemukan, orang yang di-bully oleh sesama koleganya 46 persen berisiko lebih tinggi terkena penyakit yang mengancam jiwa tersebut.
Ini adalah pertama kalinya sebuah penelitian menghubungkan antara intimidasi dan penyakit diabetes tipe 2. Peneliti menduga, hal ini terkait erat dengan gangguan emosional seperti masalah comfort-eating atau makan untuk mendapatkan rasa nyaman.
"Kemungkinan besar bullying dan kekerasan di tempat kerja dapat menyebabkan perilaku makan comfort eating juga meningkatkan risiko mengalami emosi negatif dan selanjutnya berkontribusi pada penambahan berat badan dan perkembangan diabetes tipe 2," kata Dr Naja Rod, seorang ahli epidemiologi di Universitas Kopenhagen Denmark.
Penelitian dilakukan selama 11 tahun dengan puluhan ribu responden dari tiga negara Eropa. Terhitung sekitar 19.280 laki-laki dan 26.625 perempuan dari Denmark, Swedia dan Finlandia terlibat dalam penelitian tersebut.
Dikatakan, laki-laki lebih rentan terhadap fenomena tersebut daripada perempuan dengan perbandingan 61 persen dan 36 persen.
Kasus diabetes tipe 2 diidentifikasi dengan menggunakan data register kesehatan nasional dari para pekerja yang juga mengalami intimidasi atau kekerasan di tempat kerja.
Bullying di tempat kerja bisa berupa agresi psikologis termasuk mendapatkan kritik yang tidak adil, isolasi dan penghinaan pada hasil pekerjaan.
Dalam hampir tiga perempat kasus yang didokumentasikan penelitian tersebut, intimidasi banyak dilakukan oleh seorang manajer dan 36 persen korban intimidasi memilih meninggalkan pekerjaan untuk menghindari stres.
Baca Juga: Ini Alasan Kasus Bullying Paling Banyak Terjadi pada Remaja
"Studi lebih lanjut tentang tentang penyebab yang mungkin terjadi, misalnya kenaikan berat badan, emosi negatif dan respons stres psikologis, akan membantu memberikan pemahaman tentang mekanisme kausal untuk mengembangkan intervensi biaya (pengobatan) yang efektif," tutup Rod. (Dailymail)
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat
-
Konsistensi Lawan Katarak Kongenital, Optik Ini Raih Penghargaan Nasional
-
Apa Itu HB Dosting Hexyl? Doktif Klaim Hexylresorcinol Pengganti Hydroquinone
-
Perempuan Wajib Tahu! 10.000 Langkah Sederhana Selamatkan Tulang dari Pengeroposan
-
Kemenkes Catat 57 Persen Orang Indonesia Sakit Gigi, Tapi Cuek! Ini Dampak Ngerinya Bagi Kesehatan