Skizofrenia disebabkan oleh berbagai macam faktor. Hingga saat ini bukti-bukti ilmiah merujuk pada faktor genetik sebagai penyebab utamanya. Penelitian-penelitian yang menggunakan anak kembar menunjukkan bahwa risiko seseorang mengalami skizofrenia bila saudara kembarnya mengalami skizofrenia adalah sekitar 50 kali lipat.
Tapi penelitian yang lebih mendalam dapat melihat beragam ekspresi gen setiap individu dan menghitung hubungannya dengan diagnosis skizofrenia, tetapi ekspresi gen terkuat hanya berkontribusi sekitar 1% untuk skizofrenia. Selain itu, sebuah penelitian yang melibatkan seluruh populasi sebanyak 1,75 juta orang di Kota Kopenhagen Denmark menunjukkan bahwa lebih dari 80% penderita skizofrenia tidak memiliki saudara yang menderita skizofrenia. Maka dari itu, faktor lingkungan juga penting.
Hubungan antara faktor lingkungan dan skizofrenia belum banyak diteliti. Bukti-bukti ilmiah yang sudah banyak direplikasi baru mengenai perbedaan urban-rural, yaitu orang yang tinggal dan tumbuh besar di kota besar itu lebih tinggi 2-3 kali risikonya mengalami skizofrenia dibandingkan dengan orang yang tinggal di desa. Bukti-bukti lain masih belum banyak direplikasi. Misalnya, ada banyak penelitian menunjukkan kalau pengalaman traumatik masa kecil (seperti pernah mengalami kekerasan seksual) meningkatkan risiko skizofrenia.
Ada juga penelitian yang menunjukkan kalau mengalami perundungan (bully) pada masa kecil dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Akan tetapi, bukti-bukti ilmiah untuk perundungan masih belum sekuat pengalaman traumatik.
3. Bagaimana skizofrenia bisa muncul?
Untuk menjelaskan penyebab skizofrenia, ada dua teori besar utama. Pertama, hipotesis dopamin menjelaskan bahwa skizofrenia muncul karena masalah ketidakseimbangan dopamin, yaitu senyawa kimia pengirim informasi yang ada di otak. Bukti-bukti teori ini dapat dilihat dari obat-obatan skizofrenia yang intinya mengurangi absorpsi dopamin ke sinaps-sinaps. Selain itu, penemuan dalam ranah genetik juga menunjukkan bahwa gen yang terkait dengan fungsi dopamin memang berhubungan dengan skizofrenia.
Kedua, teori kognitif yang menjadi landasan dari terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia. Dalam teori ini, skizofrenia dianggap muncul karena adanya interpretasi yang salah pada pengalaman anomali. Pengalaman anomali tersebut bisa seperti salah dengar ada orang yang memanggil. Kesalahan interpretasi ini umumnya mudah terjadi bila orang tersebut memiliki konsep diri yang buruk dan sering mengalami perasaan negatif seperti depresi dan cemas.
4. Bagaimana cara menangani skizofrenia?
Cara menangani skizofrenia di setiap negara berbeda-beda tergantung sistem kesehatan di negara itu. Walau demikian, ada juga banyak kesamaannya. Contohnya, baik di Indonesia, Inggris, atau Jerman, penanganan utama untuk skizofrenia adalah terapi obat dengan obat-obatan antipsikotik.
Baca Juga: Wanita Pembawa Anjing ke Masjid Mengamuk saat Jalani Observasi Kejiwaan
Obat yang sering digunakan di Indonesia adalah antipsikotik generasi pertama seperti chlorpromazine, sedangkan di Inggris dan Jerman antipsikotik yang sering digunakan adalah antipsikotik generasi kedua. Berdasarkan hasil gabungan analisis berbagai penelitian, ditemukan bahwa efektivitas kedua jenis obat untuk menghilangkan gejala skizofrenia itu tidak jauh berbeda, tapi ada perbedaan yang besar di efek samping. Efek samping antipsikotik generasi pertama umumnya lebih banyak daripada antipsikotik generasi kedua, seperti tremor dan penambahan berat badan.
Satu lagi perbedaan adalah kesediaan psikoterapi. Di Inggris, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia rutin ditawarkan bersamaan dengan antipsikotik. Di Jerman, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia juga sudah tersedia, terutama di klinik di Hamburg. Di Indonesia, terapi ini masih sedang dalam proses pengembangan dan belum sampai ke tahap pengujian, maka dari itu terapi ini masih belum dapat ditawarkan.
5. Kalau begitu, apa solusinya?
Pertanyaan pertama yang muncul di kalangan pasien skizofrenia adalah apakah saya bisa sembuh? Kata “sembuh” itu sangat sulit untuk dicapai pada banyak kondisi medis dan psikis. Contohnya, sakit flu itu tidak pernah sembuh karena virus flu yang ada di dalam tubuh itu belum bisa kita hilangkan. Selain itu, status virus sebagai benda hidup atau benda mati saja masih diperdebatkan.
Maka, bila minum obat flu, kemudian gejalanya hilang dan kita merasa sembuh, itu kurang tepat karena virusnya masih ada. Sama dengan skizofrenia, terapi obat dan psikologis dapat menghilangkan gejala, tapi terkadang gejala masih bisa muncul tanpa sebab yang benar-benar jelas.
Penanganan untuk skizofrenia yang paling sesuai dengan hasil penelitian mutakhir ada di Inggris. Di sana, Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan bahwa penanganan untuk skizofrenia pada dasarnya adalah terapi obat antipsikotik. Pada saat yang sama, pasien skizofrenia selalu diberikan tawaran untuk mendapatkan terapi kognitif perilaku untuk skizofrenia dari psikolog klinis dewasa.
Berita Terkait
-
Misteri Kematian Bocah dalam Karung di Sultra Terungkap Berkat Endusan Anjing Pelacak
-
Bukan Sekadar Gonggongan, Anjing Peliharaan Jadi Pahlawan, Selamatkan Warga dari Banjir Bali
-
Tewas usai Dicabuli, Jejak Pembunuh Mayat Bocah dalam Karung Terungkap Berkat Anjing Pelacak!
-
Derita Anjing Terlantar di Tengah Banjir Bali: Air Mata Pemilik Shelter Tak Terbendung
-
Banjir Bali, Nana Mirdad Sedih Jasad Anjing Kesayangan Ikut Terbawa Arus
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Main di Luar Lebih Asyik, Taman Bermain Baru Jadi Tempat Favorit Anak dan Keluarga
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat