Suara.com - Tak Mampu Beli Daging, Masyarakat Miskin Rentan Mengalami Stunting
Angka stunting di Indonesia berhasil turun dari 30,8 persen di 2018, menjadi 27,67 persen di 2019. Angka ini memang membuat gembira, tapi masih kurang dari harapan angka WHO dengan batasan 20 persen, artinya perjuangan belum usai.
Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Fajri Azhari melihat kendala besar pemberantasan stunting masih disebabkan oleh kemiskinan, dan tingkat kemampuan masyarakat membeli pangan.
"Masyarakat miskin menghadapi harga pangan yang mahal. Strategi yang ditempuh keluarga miskin yaitu beralih untuk mengkonsumsi pangan yang murah dan bisa diawetkan," ujar Fajri dalam diskusi publik Dompet Dhuafa di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020).
Penelitian Fajri juga mengungkap kelompok masyarakat termiskin, yakni 1 persen dari total penduduk Indonesia secara rata-rata hanya mengonsumsi 74,4 kilogram beras per kapita dalam setahun. Angka itu lebih banyak dari kelompok terkaya, 1 persen dari total penduduk Indonesia yakni 60,89 kilogram beras per kapita dalam setahun.
Itu artinya nasi lebih banyak dimakan, dibanding dengan lauk pauk lainnya yang bisa memenuhi gizi seimbang. Mengingat apa yang dimakan keluarga, juga akan diberikan pada anak.
"Dengan harga daging sapi, ikan segar, susu, daging ayam, telur, buah-buahan dan sayur segar yang tinggi, keluarga miskin dipaksa untuk memfokuskan konsumsinya pada pangan pokok terjangkau dan mengenyangkan seperti beras," ungkap Fajri.
Ketimpangan pada komsumsi pangan juga ditemukan sangat tinggi, khususnya pada jenis pangan penting harganya juga cukup mahal. Seperti kesenjangan mengonsumsi daging sapi dan susu.
"Sebagian besar penduduk tidak mampu mengakses daging sapi dan susu. Dua jenis pangan sumber protein terpenting untuk pertumbuhan fisik dan ketahanan tubuh," terangnya.
Baca Juga: Wapres Ma'ruf: Tingginya Angka Stunting Bisa Lahirkan Generasi Lemah
"Akses pangan yang merata bagi semua penduduk hanya terjadi pada konsumsi beras, minyak goreng dan kelapa, serta sayur-sayuran, yang diindikasikan oleh nilai koefisien gini yang rendah, di kisaran 0,2 hungga 0,3," sambung Fajri.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas