2. Laboratorium Menerapkan Protokol Keselamatan Ketat
Pada 2018, para pejabat AS mengemukakan kekhawatiran tentang masalah keselamatan di WIV. Tapi Mazet mengatakan pekerjaan Shi di lab dan di lapangan tidak bisa diragukan keamanannya.
"Di lapangan, mereka mengenakan alat pelindung diri yang ekstrem, termasuk beberapa lapis sarung tangan, pelindung mata, setelan seluruh tubuh, dan masker," kata Mazet.
Menurut Mazet, sampel yang dikumpulkan dari kelelawar segera terbagi antara beberapa wadah yang mengandung bahan kimia untuk menonaktifkan virus dan wadah lain yang membuat virus tetap hidup.
Semua sampel kemudian dicelupkan ke dalam nitrogen cair di tempat yang membekukannya. Kemudian botol didesinfeksi dan diangkut ke laboratorium.
Di laboratorium para ilmuwan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) kemudian menurutnkan sampe ke dalam freezer yang bersuhu minus 80 derajat Celcius.
"Ketika sampel dipelajari, kemudian para peneliti hanya menggunakan yang tidak aktif dan tidak menular," kata Mazet.
3. Virus Corona Berasal dari Hewan
Alih-alih bocor dari laboratorium, virus corona lebih mungkin merupakan penyakit terbaru yang telah melompat dari hewan inang ke manusia.
Baca Juga: Tips Tetap Harmonis dengan Pasangan Selama Masa Karantina
Jenis lompatan lintas spesies ini, disebut peristiwa limpahan yang juga menyebabkan wabah Ebola dan SARS. Kedua virus tersebut berasal dari kelelawar dan penelitian genetika telah memastikan bahwa virus corona baru juga kemungkinan besar dari hewan tersebut.
4. Orang Biasa Lebih Mungkin Terinfeksi daripada Peneliti dengan APD
"Gua dan habitat liar tempat pengumpulan sampel dari kelelawar adalah tempat berbahaya bagi manusia, karena manusia dapat terpapar virus hidup yang bersirkulasi pada hewan," kata Mazet.
Dilansir dari Business Insider, Shi dan rekannya menavigasi gua-gua menggunakan APD penuh, tetapi turis, pemburu liar, dan orang-orang lain berkeliaran ke tempat-tempat seperti itu dengan tubuh yang tidak terlindungi.
Menurut Mazet, teori kebocoran lab yang terus beredar malah akan emengaruhi kerja sama ilmiah di masa depan dan berbagi informasi antara AS dan China.
"Saya pikir bahaya sebenarnya dari apa yang terjadi sekarang adalah bahwa para ahli seperti Shi dan saya sendiri mungkin tidak dapat terus berkolaborasi untuk mengidentifikasi virus-virus ini karena tekanan pemerintah," tambahnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!
-
Produk Susu Lokal Tembus Pasar ASEAN, Perkuat Gizi Anak Asia Tenggara
-
Miris! Ahli Kanker Cerita Dokter Layani 70 Pasien BPJS per Hari, Konsultasi Jadi Sebentar