Suara.com - Jangan Asal Diagnosis Diri! Kenali Beda Takut, Cemas dan Phobia
Ketakutan setiap orang mungkin bisa berbeda-beda. Akibat rasa takut, orang terkadang menyebut dirinya phobia terhadap benda atau hewan tertentu. Padahal, ternyata phobia dan takut berbeda.
Psikiater dari RS Siloam Bogor Jiemi Ardian menjelaskan phobia merupakan ketakutan terhadap objek yang pasti tapi tidak berbahaya. Misalnya phobia kucing atau pobia kodok karena kedua hewan itu kemungkinan tidak bisa mengancam nyawa manusia.
Jiemi menyangkal jika ada orang yang mengaku phobia terhadap harimau atau beruang. Menurutnya itu bukan phobia karena kedua hewan itu termasuk buas dan bisa mengancam nyawa manusia.
"Phobia itu ketakutan yang berat dan khas sampai membuat kita menghindar. Bukan ketakutan yang biasa tapi objeknya tidak berbahaya," jelas Jiemi saat melakukan siaran langsung Instagram bersama PDSKJI Indonesia, Rabu (6/5/2020).
Sementara takut, lanjutnya, objek jelas dan mengandung bahaya. Biasanya terjadi pada hal wajar sehari-hari seperti takut menyeberang jalan raya tanpa jempatan penyeberangan.
Jiemi mengingatkan, yang perlu diperhatikan pula membedakan rasa takut dan cemas.
"Cemas itu objek gak jelas dan bisa jadi gak bahaya. Contoh 'aku cemas waktu covid'. Sebenarnya pikiran kita ada banyak. Ada tentang masa depan, keluarga, finansial, objeknya gak jelas, bisa variasi sekali dan bisa jadi itu gak bahaya tapi bisa jadi bahaya," katanya.
Dalam mengungkapkan rasa cemas, pemilihan bahasa sangat penting karena bisa mempengaruhi kondisi mental. Jiemi menyarankan sebaiknya gunakan bahasa normal, jangan pakai bahasa medis seperti anxiety disorder.
Baca Juga: Bisa Cerahkan Kulit, Ini Manfaat Lain Bunga Mawar yang Masih Kuncup
"Jadi kita milih 'sumpah gua anxiety parah banget' sama kamu ngomong 'saya lagi cemas nih', situasinya sama tapi kalau pilih pakai bahasa lebay kondisi mu akan semakin terganggu, makin gak enak," jelasnya.
Pemilihan bahasa yang tidak tepat justru merugikan diri sendiri karena persepsi terhadap realita dibuat salah dan melakukan diagnosis sendiri. Jiemi mengatakan bahwa memakai bahasa normal justru bisa menenangkan diri.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
Terkini
-
Keberlanjutan Makin Krusial dalam Layanan Kesehatan Modern, Mengapa?
-
Indonesia Kini Punya Pusat Bedah Robotik Pertama, Tawarkan Bedah Presisi dan Pemulihan Cepat
-
Pertama di Indonesia, Operasi Ligamen Artifisial untuk Pasien Cedera Lutut
-
Inovasi Terapi Kanker Kian Maju, Deteksi Dini dan Pengobatan Personal Jadi Kunci
-
Gaya Bermain Neymar Jr Jadi Inspirasi Sepatu Bola Generasi Baru
-
Menopause dan Risiko Demensia: Perubahan Hormon yang Tak Bisa Diabaikan
-
Penelitian Ungkap Mikroplastik Memperparah Penyempitan Pembuluh Darah: Kok Bisa?
-
Lari Sambil Menjelajah Kota, JEKATE Running Series 2025 Resmi Digelar
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa