Suara.com - Pengobatan untuk Covid-19 hingga kini masih dicari yang terbaik dan teraman. Hidroklorokuin atau hydroxychloroquine adalah satu obat yang lebih dulu populer dan sudah digunakan di beberapa negara.
Tapi faktanya, sebuah penelitian baru mengenai hydroxychloroquine mengungkap bahwa obat malaria ini tidak menurunkan risiko kematian dan tidak membantu kesembuhan pasien Covid-19.
Diwartakan laman Huffpost, Jumat (8/5/2020), penelitian ini melibatkan 1.400 pasien yang dirawat di Universitas Columbia, New York. Penelutian ini diterbitkan pada Kamis, 7 Mei 2020, di New England Journal of Medicine.
Meski penelitian ini bersifat observasi, dan bukan eksperimen, namun penelitian ini bisa memberikan informasi yang berharga terkait keputusan memberikan obat ini kepada ratusan ribu pasien Covid-19.
"Sangat mengecewakan bahwa beberapa bulan selama pandemi, kami belum mendapatkan hasil. Hal ini menunjukkan obat ini bukanlah obat mujarab " ujar peneliti dalam jurnalnya.
Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump berulang kali mendesak untuk menggunakan obat ini. Padahal obat ini berpotensi memiliki efek samping yang cukup serius, seperti mengubah irama detak jantung dan bahkan menyebabkan kematian mendadak.
Badan pengawas obat dan makanan FDA Amerika telah memperingatkan penggunaan obat ini terhadap infeksi virus corona, kecuali jika sudah ada penelitian yang pasti.
Dokter di Columbia menemukan bagaimana 565 pasien yang tidak mendapatkan obat hydroxychloroquine bernasib sama dengan 811 orang yang menerima hydroxychloroquine, dengan atau tanpa antibiotik azithromycin.
Secara keseluruhan, hasilnya ditemukan 180 pasien memerlukan alat bantu pernapasan dan 232 pasien lainnya yang meninggal dunia. Sehingga obat itu tidak berpengaruh pada 2 jenis kondisi penderita Covid-19.
Baca Juga: Obat Herbal Covid-19 Bikinan Madagaskar Bikin Malaria Jadi Kebal, Bahaya!
Adapun pasien yang diberi hydroxychloroquine umumnya adalah pasien dengan gejala berat dibanding pasien lainnya. Tapi saat obat diberikan, ternyata tidak ada manfaat yang terlihat dari obat tersebut.
Adapun penggunaan obat diberikan dalam 2 hari sejak pasien masuk ruang ICU. Hasil penelitian ini kemudian mendapat kritik dari studi sebelumnya, yang mengatakan bahwa kemungkinan pengobatan diberikan karena sudah terlambat kondisi pasien sudah memburuk.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Masuk Kabinet, Tapi Rakyat Justru Makin Pesimistis Soal Ekonomi RI Kedepan
-
Bintang Liga Prancis Rp57,8 Miliar Tak Sabar Bela Timnas Indonesia pada Oktober
-
Inikah Kata-kata yang Bikin Keponakan Prabowo Mundur dari DPR?
-
Emas Antam Pecah Rekor Lagi, Harganya Tembus Rp 2.095.000 per Gram
-
Pede Tingkat Dewa atau Cuma Sesumbar? Gaya Kepemimpinan Menkeu Baru Bikin Netizen Penasaran
Terkini
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online
-
Rusia Luncurkan Vaksin EnteroMix: Mungkinkah Jadi Era Baru Pengobatan Kanker?
-
Skrining BPJS Kesehatan: Panduan Lengkap Deteksi Dini Penyakit di Tahun 2025
-
Surfing Jadi Jalan Perempuan Temukan Keberanian dan Healing di Laut
-
Bayi Rewel Bikin Stres? Rahasia Tidur Nyenyak dengan Aromaterapi Lavender dan Chamomile!
-
Varises Esofagus Bisa Picu BAB dan Muntah Darah Hitam, Ini Penjelasan Dokter Bedah
-
Revolusi Kesehatan Dimulai: Indonesia Jadi Pusat Inovasi Digital di Asia!
-
HPV Masih Jadi Ancaman, Kini Ada Vaksin Generasi Baru dengan Perlindungan Lebih Luas