Suara.com - Untuk menyelidiki efek vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) terhadap pencegahan virus corona Covid-19, Israel ikut melakukan sebuah peneliltian baru.
Hasilnya, para ilmuwan Israel mengaku tidak melihat adanya perbedaan dalam proporsi kasus pada mereka yang telah divaksinasi dengan yang tidak divaksinasi. Selain itu, vaksin BCG juga dinilai tidak dapat memberikan efek pencegahan.
Vaksin BCG merupakan vaksin yang dikembangkan ratusan tahun lalu untuk infeksi tuberkulosis (TBC) di Eropa. Di negara berkembang, vaksin ini digunakan untuk mengatasi kondisi lain, termasuk mencegah kematian bayi dari berbagai penyebab, dan secara signifikan mengurangi kejadian infeksi pernapasan.
Ilmuwan di Melbourne, Australia, pada awal April tahun ini, pernah mengatakan vaksin BCG ini tampaknya 'melatih' sistem kekebalan untuk mengenali dan merespon berbagai infeksi, terutama virus, bakteri, hingga parasit.
Mereka juga telah memberikan vaksin BCG kepada ribuan tenaga medis dan melakukan uji coba terkontrol secara acak yang dimaksudkan untuk menguji efektivitas vaksin terhadap Covid-19, dilansir dari New York Post.
Kelompok studi di Universitas Tel Aviv di Israel, dilansir NHK, mencatat bahwa Israel telah divaksinasi secara rutin dengan vaksin BCG hingga 1982. Mereka pun menganalisis apakah ada perbedaan dalam rasio infeksi antara generasi yang divaksinasi dan yang tidak divaksinasi. Hasilnya dipublikasikan di 'American Medical Association Magazine'.
Menurut hasilnya, di antara orang-orang yang diuji PCR untuk virus corona baru dari Maret hingga awal April di Israel tahun ini, 3064 orang yang lahir dari 1978 hingga 1981 ketika vaksin BCG diinokulasi, 11,7% atau 361 orang positif.
Di sisi lain, dari 2869 orang yang lahir dari 1983 hingga 1986, yang tidak divaksinasi, sebanyak 299, atau 10,4%, dites positif.
Kelompok penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang jelas secara statistik dan bahwa vaksin BCG tidak memiliki efek perlindungan.
Baca Juga: Amerika Serikat Tuduh China Retas Penelitian Vaksin Covid-19
Di sisi lain, ada beberapa kasus penyakit parah pada generasi yang relatif muda yang menjadi subjek penelitian, dan peneliti belum tahu hubungannya dengan tingkat penyakit serius dan kematian.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Menopause dan Risiko Demensia: Perubahan Hormon yang Tak Bisa Diabaikan
-
Penelitian Ungkap Mikroplastik Memperparah Penyempitan Pembuluh Darah: Kok Bisa?
-
Lari Sambil Menjelajah Kota, JEKATE Running Series 2025 Resmi Digelar
-
Di Balik Duka Banjir Sumatera: Mengapa Popok Bayi Jadi Kebutuhan Mendesak di Pengungsian?
-
Jangan Anggap Remeh! Diare dan Nyeri Perut Bisa Jadi Tanda Awal Penyakit Kronis yang Mengancam Jiwa
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi