Suara.com - Stres dapat memengaruhi psikologis maupun fisiologis manusia. Kondisi ini dapat dipicu oleh berbagai hal, misalnya ketegangan saat wawancara, ujian, atau kencan pertama.
Lebih serius lagi, kondisi kesehatan fisik dan mental yang buruk dapat memicu stres kronis.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana saraf terhubung (saat) merasa stres, Elizabeth Goldfarb, Ph.D., peneliti di Yale Stress Center dan rekannya, menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk memindai otak 60 relawan saat mereka melihat serangkaian gambar yang merangsang stres dan perasaan netral atau santai.
Setelah melihat setiap gambar, peneliti meminta peserta menekan tombol untuk menilai seberapa stres dan tenang yang mereka rasakan pada skala 1 hingga 9 (1 untuk tidak stres atau tenang sama sekali, 9 untuk sangat stres atau tenang).
Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana konektivitas hippocampus di otak berubah sesuai dengan tingkat stres yang dirasakan peserta.
Hippocampus merupakan struktur yang berbentuk kuda laut di dalam lobus temporal dalam setiap belahan otak. Ini memainkan peran penting dalam emosi dan memori.
Dilansir Medical News Today, peneliti melihat konektivitas menguat dalam jaringan yang mencakup struktur di dasar otak yang disebut hipotalamus ketika peserta stres. Ini memicu pelepasan beberapa hormon, termasuk hormon kortisol.
Ketika subjek lebih tenang, konektivitas menguat antara hippocampus dan jaringan, termasuk korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC), di dekat bagian depan setiap belahan otak.
DLPFC berhubungan dengan fungsi kognitif dan eksekutif, seperti pengambilan keputusan, working memory dan strategi coping untuk mengatur emosi.
Baca Juga: Virus Corona Bisa Menyerang Otak, Apa Dampaknya?
Pada beberapa partisipan, koneksi antara hippocampus dan DLPFC juga menguat selama pemaparan gambar yang membuat stres. Tampaknya, kondisi ini mengurangi pengalaman stres berikutnya.
Karenanya, peneliti berspekulasi bahwa para peserta mengakses kenangan yang membantu mereka menurunkan respon stres.
"Mirip dengan temuan baru yang mengingat pengalaman positif dapat menurunkan respon stres tubuh, studi kami menunjukkan jaringan otak yang terkiat dengan memori dapat dimanfaatkan untuk menciptakan respon emosional yang lebih kuat terhadap stres," jelas Goldfarb.
Konektivitas antara korteks frontal dan bagian otak lainnya juga berperan dalam depresi.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis
-
Dokter Kandungan Akui Rahim Copot Nyata Bisa Terjadi, Bisakah Disambungkan Kembali?
-
Klinik Safe Space, Dukungan Baru untuk Kesehatan Fisik dan Mental Perempuan Pekerja
-
Mengubah Cara Pandang Masyarakat Terhadap Spa Leisure: Inisiatif Baru dari Deep Spa Group
-
Terobosan Baru Lawan Kebutaan Akibat Diabetes: Tele-Oftalmologi dan AI Jadi Kunci Skrining
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025