Suara.com - Sebuah penelitian observasional menemukan bahwa pasien Covid-19 dengan ventilator yang menerima obat peredam respon imun yang berlebihan mengirangi risiko kematian sebanyak 45 persen.
Dilansir dari Medical News Today, meskipun dua kali lebih mungkin untuk mengembangkan infeksi sekunder, pasien yang menerima dosis tunggal obat penekan kekebalan tampaknya memiliki peluang lebih baik untuk bertahan hidup. Studi tersebut disusun oleh para peneliti di University of Michigan.
Untuk menekan respon kekebalan, dokter biasanya meresepkan obat yang disebut tocilizumab. Obat ini biasa digunakan untuk rheumatoid arthritis, suatu kondisi yang menyakitkan di mana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sendi mereka.
Sistem kekebalan pada orang dengan Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona SARS-CoV-2 juga dapat mengalami overdrive. Kondisi ini menghasilkan jumlah molekul pensinyalan kekebalan yang berlebihan yang disebut sitokin.
Sindrom pelepasan sitokin ini atau badai sitokin bisa menghasilkan hiperinflamasi. Hal ini dapat memperburuk kesulitan bernafas dan menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang berpotensi fatal.
Tocilizumab adalah antibodi monoklonal yang menekan respons imun dengan memblokir reseptor untuk sitokin kunci yang dikenal sebagai interleukin-6 (IL-6).
Pada studi ini, para peneliti menganalisis 154 pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis, 78 di antaranya menerima suntikan tunggal tocilizumab dan 76 tidak.
Kedua kelompok itu secara umum serupa, tetapi mereka yang menerima tocilizumab sedikit lebih kecil kemungkinannya menderita penyakit paru kronis atau penyakit ginjal kronis.
Para pasien dirawat selama 6 minggu pertama setelah dimulainya wabah di Michigan, dari awal Maret hingga akhir April. Pada tindak lanjut 28 hari, 14 (18 persen) dari pasien dalam kelompok tocilizumab telah meninggal, dibandingkan dengan 27 orang (36 persen) dari mereka yang tidak tocilizumab.
Baca Juga: Peneliti Temukan 3 Tipe Respon Kekebalan Tubuh pada Covid-19, Apa Saja?
Dokter sebelumnya telah menggunakan obat untuk memerangi sindrom pelepasan sitokin pada orang yang menerima imunoterapi untuk kanker. Studi kasus juga menunjukkan bahwa obat jenis ini mungkin efektif pada orang yang sakit parah dengan Covid-19.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Skechers, Tanpa Tali untuk Jalan Kaki Lansia
- 9 Sepatu Puma yang Diskon di Sports Station, Harga Mulai Rp300 Ribuan
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- 5 Sepatu New Balance yang Diskon 50% di Foot Locker Sambut Akhir Tahun
Pilihan
-
In This Economy: Banyolan Gen Z Hadapi Anomali Biaya Hidup di Sepanjang 2025
-
Ramalan Menkeu Purbaya soal IHSG Tembus 9.000 di Akhir Tahun Gagal Total
-
Tor Monitor! Ini Daftar Saham IPO Paling Gacor di 2025
-
Daftar Saham IPO Paling Boncos di 2025
-
4 HP Snapdragon Paling Murah Terbaru 2025 Mulai Harga 2 Jutaan, Cocok untuk Daily Driver
Terkini
-
Pakar Ungkap Cara Memilih Popok Bayi yang Sesuai dengan Fase Pertumbuhannya
-
Waspada Super Flu Subclade K, Siapa Kelompok Paling Rentan? Ini Kata Ahli
-
Asam Urat Bisa Datang Diam-Diam, Ini Manfaat Susu Kambing Etawa untuk Pencegahan
-
Kesehatan Gigi Keluarga, Investasi Kecil dengan Dampak Besar
-
Fakta Super Flu, Dipicu Virus Influenza A H3N2 'Meledak' Jangkit Jutaan Orang
-
Gigi Goyang Saat Dewasa? Waspada! Ini Bukan Sekadar Tanda Biasa, Tapi Peringatan Serius dari Tubuh
-
Bali Menguat sebagai Pusat Wellness Asia, Standar Global Kesehatan Kian Jadi Kebutuhan
-
Susu Creamy Ala Hokkaido Tanpa Drama Perut: Solusi Nikmat buat yang Intoleransi Laktosa
-
Tak Melambat di Usia Lanjut, Rahasia The Siu Siu yang Tetap Aktif dan Bergerak
-
Rahasia Sendi Kuat di Usia Muda: Ini Nutrisi Wajib yang Perlu Dikonsumsi Sekarang