Suara.com - Di masa pandemi ini, bukan hanya penyakit fisik yang jadi ancaman, tapi juga gangguan mental. Pemicu gangguan mental saat pandemi adalah ketidakpastian kesehatan dan ekonomi yang melanda.
Hal ini masih ditambah dengan peran ganda orangtua di rumah yang harus bisa mendidik, mengayomi, dan mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah. Wajar jika ada yang tidak kuat, dan menyebabkan baik anak maupun orangtua mengalami tekanan mental dan stres.
Demi memberikan perlindungan mental pada orangtua dan anak, kantor Staf Presiden bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika Kemen PPPA, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) membuka layanan call center 119 extention 8 SEJIWA.
"SEJIWA kami adakan karena kami melihat begitu banyak tekanan dalam keluarga. Sejak periode 10 Juni hingga 10 Juli, 59 persen pengaduan yang masuk adalah keluhan masalah dalam keluarga seperti pengasuhan,” ujar Deputi II Bidang Pembangunan Manusia, Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, melalui keterangannya, Rabu (22/7/2020).
Jika masalah mental ini tidak tertangani, bukan tak mungkin jika bisa memicu kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak sendiri. Ini biasanya terjadi ketika orangtua mendapat tekanan pekerjaan, dibarengi tugas sekolah anak yang menumpuk.
"Dalam masa pandemi, anak rentan menjadi korban kekerasan karena orangtua memiliki beban ganda mendidik, mendampingi, dan ikut menemani anak belajar sekaligus tetap bekerja," ungkap Menteri PPPA Bintang Puspayoga.
Daripada memicu kekerasan karena melampiaskan stres pada anak, Menteri Bintang mengingatkan lebih baik meminta bantuan konseling pengasuhan yang sudah disediakan pemerintah. Kini sudah tersedia 135 Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) binaan Kemen PPPA yang tersebar di Indonesia.
Layanan dan bantuan konseling SEJIWA perlu dilakukan, daripada menambah warna gelap kekerasan pada anak. Data SIMFONI Kemen PPPA mencatat selama pandemi sejak Januari 2020 sampai dengan 17 Juli 2020, terlapor 3.928 kasus kekerasan pada anak.
Masih tingginya angka kekerasan pada anak juga tergambar dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 oleh Kemen PPPA, menyebutkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan atau laki-laki pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Baca Juga: Studi: Penyintas Covid-19 Alami Masalah Mental Lebih Berat dari Pasien SARS
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
Terkini
-
Terobosan Penanganan Masalah Bahu: Dari Terapi Non-Bedah hingga Bedah Minim Invasif
-
Cuaca Berubah-ubah Bikin Sakit? Ini 3 Bahan Alami Andalan Dokter untuk Jaga Imunitas!
-
Review Lengkap Susu Flyon: Manfaat, Komposisi, Cara Konsumsi dan Harga Terbaru
-
BPOM: Apotek Jangan Asal Berikan Antibiotik ke Pembeli, Bahaya Level Global
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis
-
Dokter Kandungan Akui Rahim Copot Nyata Bisa Terjadi, Bisakah Disambungkan Kembali?
-
Klinik Safe Space, Dukungan Baru untuk Kesehatan Fisik dan Mental Perempuan Pekerja