Suara.com - Komplikasi virus corona bisa menyerang berbagai organ penting tubuh termasuk otak. Hal inilah yang dapat menunjukkan berbagai masalah neurologis.
"Covid-19 telah dikaitkan dengan beberapa gejala neurologis seperti sakit kepala, pusing, mialgia, linglung, perubahan indra perasa dan bau, rasa lemas, stroke, hingga kejang," kata William C. Davison MD, FAAN, ahli saraf di Northwestern Medicine Rumah Sakit Lake Forest, Illinois kepada Health.
Sebuah studi baru dari para peneliti University College London (UCL) di Inggris menyatakan bahwa virus corona bisa menyerang otak lebih parah lagi. Penelitian ini telah diterbitkan di Jurnal Brain.
Melansir dari Health, para peneliti menganalisis data dari 43 pasien yang dikonfirmasi atau diduga terinfeksi Covid-19 berusia 16 hingga 85 tahun. Pasien-pasien ini dirawat di Rumah Sakit Nasional Neurologi dan Bedah Saraf di London.
Dalam hal ini, beberapa pasien mengalami gejala ringan, berat, dan beberapa mengalami masalah neurologis yang menjadi satu-satunya gejala.
Masalah neurologis pada pasien penelitian mengalami gejala yang berbeda, seperti ensefalopati (kerusakan atau penyakit yang mempengaruhi otak), sindrom peradangan SSP seperti ensefalitis atau ensefalomeyelitis diseminata akut (ADEM), stroke iskemik, gangguan neurologis perifer seperti Guillain-Barré sindrom, dan gangguan lainnya.
Dari 43 pasien, para peneliti menulis bahwa mereka yang menderita jenis sindrom inflamasi ADEM memerlukan pengawasan ketat. ADEM ditandai dengan serangan pada myelin tubuh, lapisan pelindung serabut saraf di sistem saraf pusat oleh sistem kekebalan tubuh.
Gejala-gejala yang mungkin timbul dari ADEM berkisar pada sakit kepala, kelelahan, kehilangan penglihatan, kelumpuhan. "ADEM adalah reaksi inflamasi terhadap sistem saraf pusat," kata Dr. Davison.
"Virus corona adalah pemicunya tetapi saat ini kami tidak tahu mengapa ini menyebabkan respon imun patologis," tambahnya.
Baca Juga: Menristek Ungkap Sebab Indonesia Kesulitan Produksi Ventilator
Para peneliti melaporkan bahwa sebelum pandemi, mereka melihat sekitar satu orang dengan ADEM per bulan. Namun saat masa studi (pandemi), mereka melihat setidaknya satu pasien ADEM per minggu.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Terkini
-
Dari Donor Kadaver hingga Teknologi Robotik, Masa Depan Transplantasi Ginjal di Indonesia
-
Banyak Studi Sebut Paparan BPA Bisa Timbulkan Berbagai Penyakit, Ini Buktinya
-
Rahasia Hidup Sehat di Era Digital: Intip Inovasi Medis yang Bikin Umur Makin Panjang
-
Pentingnya Cek Gula Darah Mandiri: Ini Merek Terbaik yang Banyak Dipilih!
-
Prestasi Internasional Siloam Hospitals: Masuk Peringkat Perusahaan Paling Tepercaya Dunia 2025
-
Anak Bentol Setelah Makan Telur? Awas Alergi! Kenali Gejala dan Perbedaan Alergi Makanan
-
Alergi Makanan Anak: Kapan Harus Khawatir? Panduan Lengkap dari Dokter
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat
-
Konsistensi Lawan Katarak Kongenital, Optik Ini Raih Penghargaan Nasional