Suara.com - Peneliti National Institutes of Health (NIH) melaporkan gangguan peradangan atau inflamasi mematikan yang baru ditemukan pekan lalu.
"Kami memiliki banyak pasien dengan kondisi peradangan atau inflamasi yang tidak terdiagnosis di Pusat Klinis NIH," kata Dr. David Beck, rekan klinis di NHGRI dan penulis utama makalah ini.
Karena mereka tidak bisa mendiagnosisnya, peneliti mencoba mencari tahu efek peradangan ini dengan membuat daftar gen, alih-alih melihat gejalanya.
"Kemudian, pelajari genom individu yang tidak terdiagnosis dan lihat ke mana cara ini membawa kita," sambungnya, dilansir Fox News. Temuan ini dipublikasikan di New England Journal of Medicine.
Peneliti memeriksa 2.560 orang dengan penyakit radang yang tidak terdiagnosis ini dan menilai lebih dari 800 gen yang terlibat dalam proses pengaturan sel.
Mereka menemukan satu gen yang bermutasi, UB1, menyebabkan sindrom yang dijuluki VEXAS, yang terdiri dari vakuola, enzim E1, X-linked, autoinflamasi, dan gangguan somatik.
"Sejauh ini, 40 persen pasien VEXAS yang dipelajari telah meninggal, mengungkapkan efek buruk dari yang kondisi parah," ujar peneliti.
“Tujuan kami adalah untuk melihat apakah ada dari 2.560 pasien yang berbagi variasi dalam gen yang sama. Alih-alih melihat kemiripan klinis, kami justru memanfaatkan kesamaan genom yang dapat membantu menemukan penyakit yang benar-benar baru," ujar Dr. Daniel Kastner, direktur ilmiah Program Penelitian Intramural di NHGRI.
Dari 2.560 pasien, para peneliti mengatakan 1.000 pasien mengalami demam berulang dan peradangan yang meluas.
Baca Juga: Studi Baru: Mutasi Virus Corona Mungkin Lebih Menular
Para peneliti menemukan di antara pasien, beberapa sel membawa gen dalam bentuk mutasi, dan sel lain membawa gen dalam bentuk normalnya.
Kemudian, mereka menemukan ada 25 pria yang mengalami mutasi gen dengan gejala serupa, yaitu pembekuan darah, demam berulang, dan masalah jantung, serta lainnya.
"Dengan menggunakan pendekatan genom pertama ini, kami telah berhasil menemukan benang merah yang mengikat pasien yang membawa semua diagnosis yang tampaknya tidak terkait dan berbeda ini," simpul Kastner.
Berita Terkait
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Gelar Pertemuan Tertutup, Ustaz Abu Bakar Baasyir Ungkap Pesan ke Jokowi
-
Momen Langka! Jokowi Cium Tangan Abu Bakar Ba'asyir di Kediamannya di Solo
-
Laga Klasik Timnas Indonesia vs Arab Saudi: Kartu Merah Ismed, Kemilau Boaz Solossa
-
Prabowo 'Ngamuk' Soal Keracunan MBG: Menteri Dipanggil Tengah Malam!
-
Viral Video Syur 27 Detik Diduga Libatkan Oknum Dokter di Riau
Terkini
-
Bijak Garam: Cara Sederhana Cegah Hipertensi dan Penyakit Degeneratif
-
HD Theranova: Terobosan Cuci Darah yang Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
-
Stres Hilang, Jantung Sehat, Komunitas Solid: Ini Kekuatan Fun Run yang Wajib Kamu Coba!
-
Jantung Sehat di Usia Muda: 5 Kebiasaan yang Wajib Kamu Tahu!
-
Infeksi Silang di Rumah Sakit? Linen Medis Antivirus Ini Jadi Solusi!
-
Golden Period Jadi Kunci, RS Ini Siapkan Layanan Cepat Tangani Stroke
-
Nada Tarina Pamer Bekas Jahitan Operasi, Kenapa Skoliosis Lebih Rentan pada Wanita?
-
Apa Itu Tylenol: Obat yang Diklaim Donald Trump Bisa Bikin Autis
-
Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja
-
Viral Guyonan Lelaki Manja saat Sakit, Dokter Saraf Bongkar Fakta Toleransi Nyeri