Suara.com - Banyak orang bertanya-tanya bagaimana bisa ilmuwan dapat mengembangkan vaksin Covid-19 dalam waktu kurang dari satu tahun.
Semakin berkembangnya zaman, teknologi juga semakin berkembang. Begitu halnya dengan teknologi dalam dunia medis.
Teknologi mRNA, yang relatif baru, mengandalkan untai sintetis kode genetik disebut messenger RNA untuk memperkuat sistem kekebalan.
Sebelumnya, teknologi ini belum disetujui dalam pengembangan vaksin di dunia.
Maitreyi Shivkumar, ahli virologi dan dosen senior biologi molekuler di De Montfort University di Leicester, Inggris, mengatakan perkembangan ini dapat digunakan pada patogen lain di masa depan.
Berdasarkan Live Science, vaksin mRNA terinspirasi oleh biologi dasar.
Sekitar 30 tahun lalu, para ilmuwan menyadari mereka dapat mensintesis mRNA di laboratorium, mengirimkannya ke dalam sel manusia dan menggunakan tubuh untuk membuat protein, seperti protein yang dapat membantu melawan berbagai penyakit.
Pada 1990-an, peneliti di Universitas Wisconsin dan perusahaan bioteknologi Vical Incorporated menemukan cara membuat mRNA yang dapat membuat sel tikus membuat protein.
Lima dari vaksin yang saat ini dalam uji klinis adalah vaksin mRNA, termasuk Pfizer dan Moderna. Meski dibuat dari resep yang berbeda, mereka menggunakan konsep dasar yang sama.
Baca Juga: Bantah Tolak Disuntik Vaksin Covid-19 Duluan, IDI Akan Klarifikasi Besok
Kedua vaksin tersebut terdiri dari mRNA sintetis yang membawa kode protein lonjakan dari virus, dalam hal ini virus corona jenis baru.
MRNA terbungkus di dalam nanopartikel lemak agar dapat menyusup ke sel-sel manusia dan menyampaikan instruksi pembangunan protein lonjakan tanpa 'membangunkan' sistem kekebalan.
Setelah sel memegang mRNA, sel membuat protein lonjakan, yang pada gilirannya memicu sistem kekebalan untuk menghasilkan gudang sel untuk melawan protein lonjakan dan dengan demikian melindungi tubuh dari SARS-CoV-2.
"Vaksin yang dikembangkan oleh Moderna dan Pfizer kemungkinan besar sangat sukses karena mereka 'meniru infeksi virus', dengan mengaktifkan dua respons kekebalan utama di dalam tubuh," tutur Otto Yang, profesor kedokteran di divisi penyakit menular dan mikrobiologi, imunologi, dan genetika molekuler di Universitas California, Los Angeles.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Body Lotion di Indomaret untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Rawat Garis Penuaan
- 7 Rekomendasi Lipstik Transferproof untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp20 Ribuan
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 14 November: Ada Beckham 111, Magic Curve, dan Gems
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 6 Tablet RAM 8 GB Paling Murah untuk Pekerja Kantoran, Mulai Rp2 Jutaan
Pilihan
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
-
Catatan Gila Charly van Oosterhout, Pemain Keturunan Indonesia di Ajax: 28 Laga 19 Gol
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Terbaru Update Satgas PASTI OJK: Ada Pindar Terkenal
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
Terkini
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda