Suara.com - Peneliti memprediksi virus nipah (NiV) yang pertama kali ditemukan pada 1999 di Malaysia dan Singapura, dapat menyebabkan pandemi global selanjutnya.
Kaiser Family Foundation menjelaskan bahwa virus ini sangat mematikan, dengan tingkat kematian mencapai 75% pada manusia.
Meski begitu, virus tidak pernah menjadi sangat menular di antara manusia. Hingga kini, kasus yang tercatat hanya 300 orang dalam 60 wabah.
Infeksi virus nipah, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), dapat menyebabkan penyakit ringan hingga berat, seperti radang otak (ensefalitis) dan berpotensi kematian.
Gejalanya biasanya muncul dalam empat hingga 14 hari setelah terpapar virus. Umumnya berawal dari demam dan sakit kepala selama tiga hingga dua minggu selanjutnya.
Sering kali, gejala yang muncul termasuk tanda penyakit pernapasan, seperti batuk, sakit tenggorokan, dan kesulitan bernapas.
Fase radang otak (ensefalitis) dapat terjadi, termasuk ke dalam gejala parah, berupa kantuk, disorientasi, dan kebingungan mental, yang dapat dengan cepat berkembang menjadi koma dalam sehari hingga dua hari.
"Kematian dapat terjadi pada 40% hingga 75% kasus," tulis CDC dalam laman resminya.
Selain itu, efek samping jangka panjang dari penyintas infeksi NiV yang telah dilaporkan adalah kejang yang kambuh dan perubahan kepribadian.
Baca Juga: Peneliti Temukan 2 Gejala Virus Corona yang Butuh Perawatan Rumah Sakit
Umumnya, infeksi virus nipah dapat didiagnosis selama sakit atau setelah pemulihan.
Seperti SARS-CoV-2, tes yang tersedia pun berupa real time polymerase chain reaction (RT-PCR) dari usap tenggorokan dan hidung, cairan serebrospinal, urin, dan darah.
Kemudian dalam perjalanan penyakit dan setelah pemulihan, pengujian antibodi dilakukan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Diagnosis awal dari infeksi virus nipah bisa sulit karena gejala awal penyakit tidak spesifik, namun penting dilakukan.
Kasus infeksi virus nipah ini memang belum pernah terdeteksi di Indonesia. Meski begitu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Didik Budijanto mengimbau agar Indonesia selalu waspada.
"Di samping itu, dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Zoonosis (termasuk Nipah Virus) dilakukan pendekatan ONE HEALTH di mana bukan hanya Kemenkes saja yang berperan tetapi secara terintegrasi dengan Kementerian Pertanian (Dirjen Peternakan dan kesehatan Hewan) dan Kementerian Lingkungan hidup dan satwa liar," kata Didik.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Obat Autoimun Berbasis Plasma Tersedia di Indonesia, Hasil Kerjasama dengan Korsel
-
Produksi Makanan Siap Santap, Solusi Pangan Bernutrisi saat Darurat Bencana
-
Indonesia Kian Serius Garap Medical Tourism Premium Lewat Layanan Kesehatan Terintegrasi
-
Fokus Mental dan Medis: Rahasia Sukses Program Hamil Pasangan Indonesia di Tahun 2026!
-
Tantangan Kompleks Bedah Bahu, RS Ini Hadirkan Pakar Dunia untuk Beri Solusi
-
Pola Hidup Sehat Dimulai dari Sarapan: Mengapa DIANESIA Baik untuk Gula Darah?
-
Dapur Sehat: Jantung Rumah yang Nyaman, Bersih, dan Bebas Kontaminasi
-
Pemeriksaan Hormon Sering Gagal? Kenali Teknologi Multiomics yang Lebih Akurat
-
Di Balik Prestasi Atlet, Ada Peran Layanan Kesehatan yang Makin Krusial
-
Terobosan Baru Pengobatan Diabetes di Indonesia: Insulin 'Ajaib' yang Minim Risiko Gula Darah Rendah