Suara.com - Stunting di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih terus menjadi prioritas pemerintah.
Menurut Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30 persen.
Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Di mana, anak yang stunting jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya.
Atas dasar keresahan tersebut, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) memilih isu stunting untuk pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pidato itu berjudul "Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional".
Dalam kegiatan Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring, pada Sabtu (13/3/2021), Prof Aman B. Pulungan mengatakan jika masalah stunting harus dilihat secara komprehensif.
Ia menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan. Stunting kata dia, erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna. Hal ini terlihat pada penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat, yang menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan.
Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan. Oleh karena itu, kata dia penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain.
Baca Juga: Program Pencegahan Terganggu akibat Covid-19, Angka Stunting Naik
Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga juga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan.
Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan, melalui Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof Aman B. Pulungan, di Rampasasa, Flores dijelaskan, populasi yang lebih pendek dari rata-rata nasional.
Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm.
Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting.
"Tingginya angka stunting di Indonesia dan perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi menunjukkan pentingnya akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak. Karena itu, berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional," ujar Prof Aman B. Pulungan.
Berita Terkait
-
Menkeu Purbaya Siapkan 'Hadiah' Rp300 Miliar untuk Daerah yang Sukses Tangani Stunting
-
Telkom Raih IDX Channel Award 2025 untuk Inovasi Aplikasi Cegah Stunting
-
Cara Efektif Mencegah Stunting dan Wasting Lewat Nutrisi yang Tepat untuk Si Kecil
-
Sumbangsih Telkom Cegah Stunting lewat Aplikasi di Desa Domiyang Pekalongan
-
Rahasia Benteng Garuda: Nutrisi Ala Rizky Ridho untuk Performa Maksimal!
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 5 Pilihan HP Snapdragon Murah RAM Besar, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
Pilihan
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
Terkini
-
Terobosan Baru Lawan Kebutaan Akibat Diabetes: Tele-Oftalmologi dan AI Jadi Kunci Skrining
-
5 Buah Tinggi Alkali yang Aman Dikonsumsi Penderita GERD, Bisa Mengatasi Heartburn
-
Borobudur Marathon Jadi Agenda Lari Akhir 2025
-
Waspada Konsumsi Minuman Soda Diet, Temuan Terbaru Sebut Risiko Penyakit Hati Naik hingga 60%
-
Inovasi Kedokteran Gigi yang Siap Ubah Layanan Kesehatan Mulut Indonesia
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia